LATAR BELAKANG
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II membawa dampak yang sangat besar bagi keberadaan Indonesia yang sedang mulai dibentuk. Sebabnya setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu (15 Agustus 1945), Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan. Secara hukum wilayah Indonesia sudah bukan lagi dalam kekuasaan Jepang, namun belum juga menjadi kekuasaan siapapun, termasuk sekutu, sebab pasukan sekutu yang seharusnya menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang belum datang ke Indonesia.
Penyerahan kekuasaan wilayah Indonesia dari tangan Jepang akan dilaksanakan oleh tentara sekutu : AFNEI. Kedatangan AFNEI semula disambut baik oleh rakyat Indonesia karena disangka akan menyerahkan kekuasaan Indonesia kepada rakyat Indonesia sendiri yang telah memproklamasikan kemerdekaannya sejak tanggal 17 Agustus 1945, ternyata salah.
Ikut serta pegawai sipil Belanda (NICA) dalam Tentara Sekutu (AFNEI) menimbullkan kecurigaan bagi rakyat Indonesia. Kecurigaan tersebut menjadi nyata hingga menimbulkan konflik terbuka antara NICA dengan bangsa INdonesia. Dengan dmikian juga merupakan konflik antara INdoensia dengan BElanda.
Dalam kenyataannya pasukan Sekutu sering membuat hura-hara dan tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan NICA sering melakukan teror terhadap pemimpin-pemimpin kita. Dengan demikian bangsa Indonesia mengetahui bahwa kedatangan Belanda yang membonceng AFNEI adalah untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia.
Meski demikian bangsa kita berjuang dengan cara-cara diplomasi maupun kekuatan senjata untuk melawan Belanda yang akan menjajah kembali. Konflik antara Indonesia dengan Belanda ini akhirnya melibatkan peran dunia intemasional untuk menyelesaikannya.
Oleh sebab itu penulis akan mengkaji lebih dalam tentang aktivitas diplomasi yang dilakukan INdonesia dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
1. Pertemuan Soekarno-Van Mook
Pertemuan
antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Pang
lima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. Dalam pertemuan
tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Sobardjo,
dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van Mook dan Van Der Plas.
Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk
menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih.
·
Presiden Soekamo
mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar
pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
·
Sedangkan Van
Mook mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa
Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran
berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan
Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan
memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van
Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan
Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda
(Indonesia).
2. Pertemuan Sjahrir-Van Mook
Pertemuan
ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 1945 bertempat di Markas Besar Tentara
Inggris di Jakarta ( Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak Sekutu
diwakili oleh Letnan Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Dr. H.J. Van Mook,
sedangkan delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan
Sjahrir. Sebagai pemrakarsa pertemuan ini, Christison bermaksud mempertemukan
pihak Indonesia dan Belanda di samping menjelaskan maksud kedatangan tentara
Sekutu, akan tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil.
3. Perundingan Sjahrir – Van Mook
Pertemuan-pertemuan
yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu mengalami kegagalan.
Akan tetapi pemerintah Inggris terus berupaya mempertemukan Indonesia dengan
Belanda bahkan ditingkatkan menjadi perundingan. Untuk mempertemukan kembali
pihak Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang
diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah. Pada
tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu itu Van Mook menyampaikan
pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut.
(1) Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
(2) Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut.
(1) Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
(2) Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
(1) Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
(2) Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut.
(1) Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
(2) Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
Usul
dari pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya
Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai
wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal
dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara
lain sebagai berikut.
(1) Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
(2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
(3) RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.
(1) Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
(2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
(3) RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.
4. Perundingan di Hooge Veluwe
Perundingan
ini dilaksanakan pada tanggal 14 – 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri
Belanda), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah
disepakati Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:
(1) Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI;
(2) Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
(3) Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
(1) Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI;
(2) Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
(3) Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
Perundingan
yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak
konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda
tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan
Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang
diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
5. Perundingan Linggajati
Walaupun
Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam prinsipnya
bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima dan dunia
memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu pemerintah
Inggris masih memiliki perhatian besar terhadap penyelesaian pertikaian
Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti Prof
Schermerhorn.
Pada
tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil
pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah
kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalah
gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut
oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn.
Hasil kesepakatan di bidang militer
sebagai berikut:
(l). Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
(2). Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
(l). Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
(2). Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam mencapai kesepakatan di bidang
politik antara Indonesia dengan Belanda diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10 November
1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin oleh
Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van
Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir, dengan
anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto
Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia
Tenggara.
Hasil Perundingan Linggajati
ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya
adalah sebagai berikut.
(1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
(1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Meskipun
isi perundingan Linggajati masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia
dengan Belanda, akan tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional
kuat karena Inggris dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto. Wilayah Indonesia hasil
perundingan Linggajati adalah sebagai berikut:
6. Perundingan Renville
Perbedaan
penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya
Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21
Juli 1947.
Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil
dipertemukan antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan.
Perundingan ini dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut
Amerika Serikat “USS Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta.
Perundingan
Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia
mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak
Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang
memihak Belanda.
Hasil
perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 yang
intinya sebagai berikut.
(1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
(2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
(3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
(1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
(2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
(3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
Akibat
dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa,
Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI bersedia
menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya adalah karena
persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak berarti
belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya jaminan
bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan suara
akan dimenangkan pihak Indonesia.
7. Persetujuan Roem-Royen
Ketika
Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia
mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia
berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan
pemerintah kolonial dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18
Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville
dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember
1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di
Yogyakarta. Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya
menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission
for Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan
perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei
1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku
ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.
1). Pernyataan Mr. Moh Roem.
a. Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2). Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
1). Pernyataan Mr. Moh Roem.
a. Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2). Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik
d. Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
8. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Salah
satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Sebelum dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi Inter – Indonesia antara
wakil-wakil Republik Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg)
atau Pertemuan Permusyawarahan Federal.
Konferensi
ini berlangsung dua kali yakni tanggal 19 – 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada
tanggal 31 Juli – 2 Agustus 1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam
konferensi ini ialah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas
penyerahan kedaulatan tanpa ikatanikatan politik ataupun ekonomi.
Pada
tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di
Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willem
Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO di bawah pimpinan Sultan
Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Be1anda dipimpin Van Maarseveen sedangkan
dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh Chritchley.
Pada tanggal 2
November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan KMB
adalah sebagai berikut.
1. Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
2. Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3. Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia – Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5. Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
1. Belanda mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949.
2. Mengenai Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3. Antara RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia – Belanda yang akan diketuai Ratu Belanda.
4. Segera akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5. Pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
Dari
hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949
diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak
Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Drees,
Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi Indonesia
dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink menandatangani
naskah pengakuan kedaulatan. Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh Belanda ini
maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara serikat yakni
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar