KONGRES
PEREMPUAN INDONESIA
Dalam masa penjajahan kolonialis
yang mempersulit akses pendidikan bagi pribumi, ada tokoh seperti Dewi Sartika
di Jawa Barat, Hj. Rangkayo Rasuna Said di Sumatra Barat yang mempelopori
pendidikan bagi kaumnya, bahkan RA Kartini dengan bukunya “Habis Gelap
Terbitlah Terang” dikenal sebagai pelopor pembebasan perempuan dari budaya
patriarki feodal (emansipasi).
Organisasi perempuan pun telah
banyak berdiri jauh sebelum kemerdekaan seperti Pawiyatan Wanito (Magelang,
1915), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Ibu
Soematra (Bukit Tinggi, 1920) dan Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924).
Pada tahun 1928, perempuan juga
terlibat dalam Kongres dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Kemudian
ditindaklanjuti dengan Kongres Perempuan I yang diselenggarakan di Yogyakarta
pada 22 Desember 1928 yang dihadiri oleh 30 organisasi perempuan dari berbagai
daerah di Indonesia yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah
federasi perempuan Indonesia yang diberi nama Perikatan Perempuan Indonesia
(PPI). Di dalam konferensi tersebut ditegaskan perlunya langkah afirmasi
keterwakilan perempuan dalam politik. Kongres tahun 1930 di Surabaya adalah
untuk memperjuangkan emansipasi waita dan menjalin rasa kesetiakawanan sosial.
Kongres Perempuan Indonesia I
dimaknai sebagai saat bangkitnya keadaran nasional dikalangan wanita. Oleh
karena itu tanggal berlangsungnya Kongres Perempuan I, yakni 22 Desember
ditetapkan sebagai Hari Ibu, yang ketetapanya diputuskan dalam Kongres Perempuan
III di Bandung.
Dalam era transisi politik
(reformasi) perlunya kaderisasi perempuan dan konsolidasi gerakan perempuan
sehingga menjadi sebuah gerakan politik yang kuat dan solid. Pada era ini juga
berdiri Komisi Nasional Perlindungan Perempuan atau dikenal sebagai Komnas
Perempuan, sebagai pengakuan negara bahwa isu-isu perempuan perlu mendapatkan
perhatian khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar