Joni Endardi, S.S., M.Hum
(Indonesia)
1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, baik dari segi etnik/ bahasa
maupun budaya. Jika dilihat dari segi bahasanya saja,
di samping digunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, dipakai juga bahasa daerah atau
bahasa setempat dalam kegiatan kehidupan sehari-hari. Bahasa daerah itu setakat ini
jumlahnya belum diketahui secara pasti karena penelitian tentang bahasa daerah ini masih
sedang berjalan.
Namun demikian, sebagai gambaran awal hasil penghitungan dari penelitian
Pemetan Bahasa Daerah di Indonesia oleh Pusat Bahasa menurut pengakuan penuturnya
serta hasil penelitian SIL (Summer Institute Linguistic) tahun 2000 bahasa daerah di
Indonesia berjumlah 726. Jumlah bahasa daerah yang cukup banyak sebagai gambaran
bahwa bangsa Indonesia memiliki warisan budaya yang adiluhung dengan jumlah
penutur 250 juta lebih.
Kajian etnolinguistik merupakan analisis interdisipliner yang menghubungkan
keterkaitan antara penggunaan bahasa dengan lingkungan budaya yang melingkupinya.
Obyek penelitian ini begitu menarik untuk dikaji lebih mendalam karena budaya dan
bahasa tidak dapat dipisahkan bahkan satu sama lain saling membutuhkan. Selain
permasalahan kerumpangan antara sistem istilah kekerabatan bahasa Indonesia dan
Daerah, penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan sisi menarik hubungan bahasa
dan budaya dalam sistem kekerabatan di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, masalah dalam tulisan ini, antara lain, adalah
sebagai berikut. Apakah semua istilah kekerabatan yang ada semuanya dimiliki oleh
bahasa Indonesia dan bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Minang,
dan Bali? Adakah kerumpangan dalam pemakaian istilah kekerabatan tersebut? Kalau
ada istilah kekerabatan mana yang rumpang tersebut. Sejalankah istilah kekerabatan
dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah tersebut?
Secara umum, tulisan ini bertujuan meneliti istilah kekerabatan dalam bahasa
Indonesia dan lima bahasa daerah berpenutur terbanyak, yaitu bahasa Jawa, Sunda,
Madura, Minang, dan Bali. Tujuan penelitian ini berkaitan dengan rumusan masalah
antara lain: Mendeskripsikan dan menggambarkan semua istilah kekerabatan yang ada
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, Sunda, Madura, Minang, serta Bali.
Mendeskripsikan dan menemukan kerumpangan yang terjadi dalam istilah kekerabatan
bahasa Indonesia dan lima bahasa daerah tersebut. Mendeskripsikan keselarasan
hubungan istilah kekerabatan dalam bahasa Indonesia dan lima bahasa daerah tersebut.
Penelitian ini diharapkan secara teoritis akan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu Linguistik dan Etnolinguistik khususnya dengan telah dianalisisnya sistem istilah
kekerabatan dalam bahasa Indonesia dan lima bahasa daerah yang dijadikan obyek
penelitian. Adapun manfaat secara praktis diharapkan pula dapat berguna bagi pembinaan
dan pengembangan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
2. Tinjauan Pustaka
Penelitian bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Indonesia sebenarnya telah
banyak dilakukan, namun sebagian besar baru dikaji secara terpisah dan dianalisis
berdasarkan aspek sinkronis. Adapun penelitian istilah kekerabatan dalam bahasa
Indonesia dan bahasa daerah dengan kajian etnolinguistik menurut sepengetahuan
penulis belum pernah dilakukan. Untuk itu, penelitian bersifat perbandingan serta
etnolinguistik ini diharapkan menambah khasanah penelitian bahasa di Indonesia.
Adapun beberapa penelitian sinkronis bahasa-bahasa daerah yang dijadikan obyek
penelitian yang masih bersifat strukturalis tersebut antara lain; Geografi Dialek Bahasa
Bali (Denes, et.al, 1985), Perkembangan Bahasa Sunda Sesudah Perang Dunia II
(Prawiraatmaja, 1986), Kedudukan dan Fungsi Bahasa Sunda di Jawa Barat (Kartini,
1985), Tata Bahasa Sunda (Coolsma, 1985), Sistem Morfologi Kata Benda dan Kata
Sifat Bahasa Minangkabau (Hoonio, 1984), Telaah Bentuk Sapaan Bahasa
Minangkabau Dialek 50 Kota Padang (Kartika Sari, 2001), Morfologi dan Sintaksis
Bahasa Madura (Moehnilabib, et.al, 1979), dan Penggunaan Kalimat Negatif dalam
bahasa Madura (Wibisono, 2001).
3. Landasan Teori
Selain teori sosiolinguistik karena sifat kajian etnolinguistik dalam telaah istilah
kekerabatan ini bersifat interdispliner maka keterlibatan teori antropologi juga
berperanan penting. Sehubungan dengan teori ini Stephen A Tyler dalam Gumperz
(editor, 1972: 251) menjelaskan bahwa analisis terminologi sistem kekerabatan dalam
bahasa daerah biasanya hanya digunakan pada penunjuk silsilah keturunan dari istilah
kekerabatan bentuk kata dasar nomina, dengan sedikit referensi konteks sosial dan
linguistik. Implementasi ini menegaskan bahwa analisis yang bersifat tipologi atau
analisis formal dilandasi kriteria silsilah keturunan (Hammel, 1965) dengan sendirinya
melibatkan data yang sahih. Hal tersebut mengindikasikan bahwa “metode silsilah
keturunan” begitu penting dalam metode penelitian lapangan—jika metode etnografi
bertujuan memprediksi “siapa akan disebut apa”.
Goodenough (1981: 10) berkaitan dengan istilah kekerabatan ini mengaitkan
dengan sistem simbol dalam suatu bahasa yang dituturkan oleh masyarakat penuturnya.
Seperti dicontohkan Goodenough bahwa penggunaan leksikon, itu ayah saya dan itu
papa saya menurut arti harfiahnya sama dalam bentuk sapaan kekerabatan tetapi
penggunaannya dibedakan sesuai siapa yang berbicara.
Blom dan Gumperz dalam Milroy (1980: 20) mencatat bahwa secara acak (status
rendahan) para pemakai bahasa daerah pada umumnya beranggotakan penutur bahasa
yang lebih menutup diri dari komunitasnya. Berkenaan dengan hal tersebut seorang ahli
bahasa menggambarkan permasalahan ini sama seperti kajian Fried, bahwa penutur kelas
bawah berinteraksi paling jauh di sekitar wilayahnya dan berkomunikasi di lingkungan
terdekat yang saling kenal satu sama lain.
Berkaitan dengan pokok masalah analisis komponen dalam istilah kekerabatan
Lehrer (1974: 46) menjelaskan bahwa para ahli antropologi menggunakan analisis
komponen untuk memaparkan sistem kekerabatan dan kata ganti orang serta bagiannya
sebab morfem sebagai unit makna yang tidak dapat dipisahkan. Ibu dan kakak
perempuan sebagai contoh merupakan bagian makna dari ‘perempuan’, tetapi makna ini
tidak dapat dikelompokkan dalam satu bagian sistem fonologi dari dua kata.
Lehrer (1974: 168—170) memaparkan bahwa kesulitan umum dalam
menentukan gambaran semantik sering ditemukan di dalam penelitian lapangan seperti
sistem kekerabatan, suatu wilayah yang begitu penting dalam mengerjakan analisis
komponen.
Kajian tentang terminologi sistem kekerabatan memperlihatkan bahwa setiap
bahasa berbeda sekali di dalam sistem pembentukan kelompok kekerabatan bersama
untuk tingkat kesamaan terminologinya. Di dalam masyarakat tutur Irak, ha?nih, ‘bapak
saya’, meliputi garis kekerabatan satu bapak, kakak laki-laki bapak, anak dari seturunan
saudara kandung kakek (paman dari bapak), ditambah kekerabatan famili lain yang dapat
didefinisikan di dalam terminologi laki-laki seturunan dari sistem kekerabatan patrilineal
(Lounsbury, 1962) dalam Lehrer (1974: 168).
Greenberg (1966) menegaskan bahwa semua bahasa menggunakan kategori
generasi (orang tua dari, keturunan dari) pertalian darah versus pertalian keturunan
(famili sedarah versus pernikahan) dan famili berdasarkan jenis kelamin di mana di
dalamnya ada terminologi sistem kekerabatan. Kategori lain yang ditegaskan adalah
keturunan langsung versus seketurunan (orang tua atau keturunan versus saudara
kandung) usia famili dilihat dari generasi, jenis kelamin pembicara, hubungan jenis
kelamin famili (contoh suatu bahasa harus memiliki satu sistem untuk sistem matrilineal
satu nenek dan ada satu perbedaan untuk sistem patrilineal satu nenek), hidup atau
meninggal (Greenberg, 1966: 110).
Kridalaksana (1980: 140) menulis tentang sapaan untuk orang kedua dalam
bahasa Indonesia. Dalam makalahnya itu, Kridalaksana telah membahas dan
mengklasifikasikan secara rinci istilah sapaan dalam bahasa Indonesia. Ada sembilan
kelompok yang dikemukakan dalam makalah tersebut, yaitu:
1. kata ganti orang kedua seperti Engkau, Kamu.
2. nama diri, seperti Mita, Edi atau dapat didahului kata Saudara, Tuan, Nyonya
3. istilah kekerabatan, seperti Kakek, Paman, Abang.
4. gelar dan pangkat, seperti Jenderal, Dokter.
5. kata ganti agentif, seperti Penonton, Pendengar.
6. bentuk nomina + ku, seperti Kekasihku, Ibuku.
7. kata-kata dektis atau penunjuk, seperti situ.
8. bentuk nominal lainnya seperti Bung, Anda.
9. bentuk zero, seperti kalau o senang pada buku itu ambillah!
Dalam masyarakat, pada umumnya, sapaan menurut ikatan kekeluargaan dapat
dijabarkan bahwa ada dua kelompok, sapaan keluarga, yaitu sapaan untuk keluarga inti
dan sapaan untuk keluarga luas.
Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak; sedangkan
keluarga luas mencakup hubungan keluarga pihak ayah dan ibu mulai dari urutan tertua
sampai yang termuda. Mulai dari kakek dan nenek piyut, kakek atau nenek buyut, kakek
dan nenek, ayah, ibu, paman, bibi, cucu, dan cicit.
Kartomiharjo (1988: 238) mengungkapkan bahwa sapaan merupakan salah satu
komponen bahasa yang penting karena dalam sapaan itu dapat ditentukan suatu interaksi
tertentu akan berlanjut. Dikatakan pula bahwa setiap kelompok masyarakat bahasa
mempunyai pedoman yang berupa adat kebiasaan, norma, nilai, dan peraturan yang
ditetapkan bersama oleh para anggota masyarakat yang bersangkutan untuk mengatur
warganya. Pedoman yang digunakan untuk mengatur perilaku masyarakat tersebut juga
terdapat pada bahasa yang dimilikinya (Kartomihardjo, 1988: 2).
Crystal (1991: 7) mengatakan bahwa sapaan adalah cara mengacu seseorang di
dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam interaksi linguistik,
tipe-tipe partisipan dibedakan berdasarkan situasi sosial dan kaidah-kaidah yang
dikemukakan untuk menjelaskan penggunaan istilah yang dilakukan oleh si pembicara,
seperti penggunaan nama pertama, gelar, dan pronomina.
Selain itu sebagai gambaran umum bahwa bahasa Chiquito, bahasa Indian
Amerika di Bolivia, bila seorang wanita ingin mengatakan ‘kakak saya laki-laki’, ia
mengatakan icibausi, sedangkan seorang pria pria mengatakan tsaruki. Perbedaan
kosakata ini jelas bukan karena masalah tabu, melainkan akibat sistem kekerabatan dan
sistem jenis kelamin saja pada orang Chiquito. Perbedaan kata itu didasarkan atas jenis
kelamin dari penutur atau orang yang menyapa. Hubungan antara saudara laki-laki
dengan saudara perempuan berbeda dengan atau tidak sama akrabnya dengan hubungan
antara saudara laki-laki (Sumarsono, 2002: 108).
Mengenai istilah dan sistem kekerabatan ini Wardhaugh (1988: 219—220) juga
menjelaskan bahwa suatu hal terpenting di dalam pemakaian bahasa di dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari adalah bagaimana mengungkapkan berbagai jenis
variasi sistem kekerabatan. Beberapa masyarakat tutur memiliki banyak sistem
kekerabatan dibandingkan lainnya, tetapi semua masyarakat bahasa menggunakan
seperti faktor jenis kelamin, umur, generasi, hubungan darah, dan perkawinan di dalam
mengorganisasi sistem kekerabatan mereka.
Hudson (1980: 89—90) menegaskan bahwa rumus untuk mengetahui bagaimana
untuk mengasumsikan sistem kekerabatan adalah beberapa tipe konsep seperti ‘ayah’
dan yang pasti ‘rumus kesejajaran’ seperti (a) seorang laki-laki yang memiliki kakak
perempuan sejajar dengan ibunya; (b) saudara kandung yang sama jenis kelamin sejajar
dengan jenis lainnya; dan (c) sebagian-saudara kandung sejajar dengan saudara kandung
penuh. Seperti saudara kandung sejenis kelamin sejajar dengan, ‘kakak laki-laki ayah’
sama juga dengan ‘ayah’.
4. Kajian Etnolinguistik Istilah Kekerabatan Bahasa
Indonesia, Jawa, Sunda,
Madura, Minang, serta Bali
a.
Istilah Kekerabatan Kakak dan Adik
Bahasa Indonesia kata yang berarti saudara sekandung tidak dibedakan
berdasarkan jenis kelamin tetapi oleh usia, yaitu kakak ‘saudara sekandung yang lebih
tua’ dan adik ‘saudara sekandung yang lebih muda’.
Namun, bahasa Jawa, Sunda, Madura, Minang, dan Bali istilah kekerabatan
kakak laki-laki dan kakak perempuan masing-masing dibedakan. Bahasa Jawa mengenal
kang mas, mas, kang, serta kakang untuk istilah kekerabatan kakak laki-laki dan mbakyu,
yu, serta mbak untuk istilah kekerabatan kakak perempuan. Bahasa Sunda mengenal aa,
akang, kang, aang, raka, serta lanceuk untuk istilah kekerabatan kakak laki-laki dan seb,
teteh, ceuceu, serta euceu untuk istilah kekerabatan kakak perempuan. Bahasa Madura
mengenal kakak, kak, akhus, khus untuk istilah kekerabatan kakak laki-laki dan .mb.g,
.mbu? untuk istilah kekerabatan kakak perempuan. Bahasa Minang mengenal uda, udo
untuk istilah kekerabatan kakak laki-laki dan uni, cik uniang, cik elok, cik angah, andah
untuk istilah kekerabatan kakak perempuan. Bahasa Bali mengenal bli, rak.
untuk istilah
kekerabatan kakak laki-laki dan mbok untuk istilah kekerabatan untuk kakak perempuan.
Berbeda dengan istilah kekerabatan adik, baik bahasa Indonesia maupun kelima
bahasa daerah yang dianalisis terjadi keselarasan dalam penggunaan istilah. Jadi, istilah
adik dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah tidak dibedakan berdasarkan jenis
kelamin kecuali bahasa Jawa mengenal le untuk sapaan adik laki-laki dan nok untuk
sapaan adik perempuan. Tetapi, pada umumnya untuk istilah kekerabatan adik ini, baik
dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang dianalisis terjadi keselarasan. Bahasa
Jawa mengenal dik dan adhi. Bahasa Sunda dikenal dengan istilah kekerabatan adi atau
rayi. Bahasa Madura mengenal ale? atau le?. Bahasa Minang mengenal adiak atau
panggil nama. Bahasa Bali mengenal adi, rai, atau panggil nama.
b. Istilah Kekerabatan Kakak dan Adik dari Ayah atau Ibu
Bahasa Indonesia mengenal dua istilah untuk sebutan kekerabatan kakak dan
adik dari ayah atau ibu, yaitu paman dan bibi serta variasi dialektal tante untuk bahasa
Indonesia dialek Jakarta. Bahasa Indonesia tidak membedakan berdasarkan usia dan jenis
kelamin untuk istilah kekerabatan kakak dan adik dari ayah atau ibu ini, baik kakak dan
adik laki-laki dari ayah atau ibu disebut dengan paman. Begitu pula dengan istilah
kekerabatan kakak dan adik perempuan dari ayah atau ibu dalam bahasa Indonesia hanya
dikenal dengan istilah bibi.
Bahasa Jawa mengenal istilah kekerabatan kakak dan adik dari ayah atau ibu
dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Bahasa Jawa memiliki pakde, uwa untuk
istilah kekerabatan kakak laki-laki dari ayah atau ibu dan paklik untuk adik laki-laki dari
ayah atau ibu. Bahasa Jawa memiliki budhe untuk istilah kekerabatan kakak perempuan
dari ayah atau ibu dan bulik untuk adik perempuan dari ayah atau ibu.
Bahasa Sunda mengenal istilah kekerabatan kakak dan adik dari ayah atau ibu
dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Bahasa Sunda mempunyai ua untuk istilah
kekerabatan kakak laki-laki dari ayah atau ibu dan mamang untuk adik laki-laki dari ayah
atau ibu. Bahasa Sunda memiliki istilah ua untuk istilah kekerabatan kakak perempuan
dari ayah atau ibu dan bibi untuk adik perempuan dari ayah atau ibu.
Bahasa Madura mirip dengan bahasa Indonesia untuk menyebut istilah kakak dan
adik dari ayah atau ibu ini karena bahasa Madura tidak membedakan berdasarkan usia
tetapi membedakan atas jenis kelamin. Bahasa Madura mengenal istilah paman dan
khuteh untuk istilah kekerabatan kakak serta adik laki-laki dari ayah atau ibu. Bahasa
Madura juga memiliki istilah bibi? serta ni.
untuk menyebut istilah kekerabatan, baik
kakak maupun adik perempuan dari ayah atau ibu.
Bahasa Minang berbeda dengan bahasa Indonesia untuk penyebutan istilah
kekerabatan kakak serta adik dari ayah atau ibu. Bahasa Minang membedakannya atas
usia dan jenis kelamin. Bahasa Minang mengenal pak uwo, pak tua, mamak, uwan, uncu
untuk menyebut istilah kekerabatan kakak laki-laki dari ayah atau ibu dan juga memiliki
istilah pak etek, mamak, mak etek, makciak, mak unia.
untuk istilah kekerabatan adik
laki-laki dari ayah atau ibu. Bahasa Minang memiliki mamak pi mak uwo untuk istilah
kekerabatan kakak perempuan dari ayah atau ibu dan etek untuk istilah kekerabatan adik
perempuan dari ayah atau ibu.
Bahasa Bali berbeda dengan sistem keempat bahasa daerah terdahulu dan juga
bahasa Indonesia untuk penyebutan istilah kekerabatan kakak dan adik dari ayah atau ibu.
Bahasa Bali menggabungkan satu istilah guru, bap., wa atau uwa untuk istilah
kekerabatan kakak dan adik, baik laki-laki maupun perempuan dari ayah atau ibu. Bahasa
Bali juga memiliki istilah meme atau meme
untuk sebutan variasi istilah kekerabatan adik
perempuan dari ayah atau ibu.
c. Istilah Kekerabatan Kakak dan Adik dari Suami atau Istri
Bahasa Indonesia memiliki kakak ipar untuk istilah kekerabatan kakak laki-laki
serta perempuan dari suami atau istri dan adik ipar untuk istilah kekerabatan adik lakilaki
dan perempuan dari suami atau istri. Bahasa Indonesia untuk istilah kekerabatan ini
tanpa membedakan berdasarkan jenis kelamin tetapi tetap memperhitungkan perbedaan
usia.
Bahasa Jawa mengenal mas ipe, mas, kangmas untuk istilah kekerabatan kakak
laki-laki dari istri atau suami dan membedakannya menjadi mbakyu ipe, mbak, mbakyu
untuk kakak perempuan dari istri atau suami. Bahasa Jawa tetap membedakan
berdasarkan jenis kelamin untuk istilah kekerabatan ini tetapi untuk istilah kekerabatan
adik laki-laki dan perempuan dari istri atau suami hanya memakai satu konsep, yaitu
adhi ipe.
Bahasa Sunda tidak membedakan berdasarkan jenis kelamin tetapi menggunakan
tolok ukur perbedaan usia saja untuk menyebutkan istilah kekerabatan kakak dan adik
laki-laki atau perempuan dari istri atau suami. Bahasa Sunda memiliki dahuan untuk
menyebutkan istilah kekerabatan kakak laki-laki dari istri atau suami dan lanceuk, seb,
ceuceu, teteh untuk istilah kekerabatan kakak perempuan dari suami atau istri. Bahasa
Sunda juga memiliki istilah adi beuteung untuk menyebutkan istilah kekerabatan adik
laki-laki atau perempuan dari istri atau suami.
Bahasa Madura membedakan atas jenis kelamin untuk menyebutkan istilah
kekerabatan kakak laki-laki dan kakak perempuan dari istri atau suami tetapi tidak
membedakannya untuk istilah adik laki-laki dan perempuan dari istri atau suami. Bahasa
Madura memiliki epar, kakak epar, panc.t untuk istilah kekerabatan kakak laki-laki dari
untuk kakak perempuan dari suami atau istri. Tetapi, mpu?.g,.mb.suami atau istri dan
bahasa Madura memiliki satu konsep, yaitu ale? atau le? untuk menyebutkan istilah
kekerabatan adik laki dan perempuan dari suami atau istri.
Bahasa Minang membedakan atas jenis kelamin dan tidak berdasarkan usia untuk
menyebutkan istilah kekerabatan kakak dan adik laki-laki atau perempuan dari istri atau
suami. Bahasa Minang memiliki uda, udo, mak rumah, panggil gelar (Sutan, Malin, dll.)
untuk menyebutkan istilah kekerabatan kakak laki-laki dari suami atau istri dan memakai
uni, cik uniang, cik elok, cik angah, andah untuk menyebutkan istilah kakak perempuan
dari suami atau istri. Kekhasan dari istilah tersebut di atas adalah uda, udo, dan uni
untuk menyebut istilah kekerabatan kakak laki-laki dan perempuan secara umum bukan
berdasarkan hubungan pertalian perkawinan sedangkan mak rumah, panggil gelar, kak
tangah, kak tuo, serta cik uniang, cik elok, cik angah, andah untuk menyebut istilah
kekerabatan kakak laki-laki serta kakak perempuan berdasarkan hubungan pertalian
perkawinan dari garis suami atau istri. Bahasa Minang mengenal istilah sama, yaitu uda,
udo, mak rumah, panggil nama, gelar, pambayan untuk menyebutkan istilah kekerabatan
adik laki-laki dari suami atau istri serta etek untuk istilah adik perempuan dari suami atau
istri.
Bahasa Bali untuk istilah kekerabatan kakak dan adik laki-laki atau perempuan
dari istri atau suami ini membedakannya atas usia tetapi tidak atas jenis kelamin. Bahasa
Bali memiliki bli, bli ipah, ipah untuk menyebutkan istilah kekerabatan kakak laki-laki
dan perempuan dari istri atau suami. Bahasa Bali juga mengenal istilah adi, adi ipah,
ipah untuk menyebutkan istilah kekerabatan adik laki-laki dan perempuan dari istri atau
suami.
d. Istilah Kekerabatan Anak Kakak atau Anak Adik
Bahasa Indonesia memiliki keponakan untuk menyebutkan istilah kekerabatan
anak kakak atau anak adik, baik yang dihubungkan dengan pertalian saudara sekandung
maupun sedarah. Bahasa Indonesia tidak membedakan berdasarkan jenis kelamin dan
perbedaan usia untuk istilah kekerabatan ini.
Bahasa Jawa tidak membedakan atas jenis kelamin dan perbedaan usia untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anak kakak atau anak adik, baik sekandung maupun
sedarah. Bahasa Jawa memiliki ponakan, prunan untuk menyebutkan istilah kekerabatan
anak kakak dan anak adik, baik laki-laki maupun perempuan yang lebih tua atau yang
lebih muda.
Bahasa Sunda membedakan atas perbedaan usia tetap tidak atas jenis kelamin.
Bahasa Sunda memiliki alo untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak kakak (anak
saudara tua), baik laki-laki maupun perempuan. Bahasa Sunda mengenal suan untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anak adik (anak saudara muda), baik laki-laki maupun
perempuan.
Bahasa Madura membedakan berdasarkan jenis kelamin tetapi tidak atas dasar
perbedaan usia untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak kakak dan anak adik, baik
yang sekandung maupun sedarah. Bahasa Madura mengenal p.nakan, kacu., cu. untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anak kakak dan anak adik yang laki-laki. Bahasa
Madura memiliki c.bi., bi. untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak kakak dan anak
adik yang perempuan.
Bahasa Minang selaras dengan bahasa Indonesia karena tidak membedakan atas
jenis kelamin dan perbedaan usia untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak kakak dan
anak adik, baik sekandung maupun sedarah yang laki-laki atau perempuan. Bahasa
Minang memiliki satu konsep, yaitu kamanakan atau panggil nama untuk menyebutkan
istilah kekerabatan anak kakak dan anak adik, baik yang laki-laki maupun perempuan.
Bahasa Bali membedakan atas perbedaan usia tetapi tidak atas jenis kelamin
untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak kakak dan anak adik, baik yang sekandung
maupun sedarah. Bahasa Bali mengenal keponakan uli bli, keponakan untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anak kakak (saudara tua), baik laki-laki maupun
perempuan. Bahasa Bali memiliki keponakan uli adi, keponakan untuk menyebutkan
istilah kekerabatan anak adik (saudara muda), baik laki-laki maupun perempuan.
e. Istilah Kekerabatan
Anak dari Kakaknya Ayah atau Ibu dan Anak dari Adiknya
Ayah atau Ibu
Bahasa Indonesia memiliki istilah kakak untuk menyebutkan istilah kekerabatan
saudara tua sedarah, baik laki-laki maupun perempuan dan adik untuk istilah kekerabatan
saudara muda sedarah, baik laki-laki maupun perempuan. Bahasa Indonesia tidak
membedakan atas jenis kelamin tetapi atas usia untuk istilah kekerabatan anak dari
kakaknya ayah atau ibu dan anak dari adiknya ayah atau ibu.
Bahasa Jawa membedakan atas perbedaan jenis kelamin dan usia untuk
menyebutkan istilah kekerabatan ini. Bahasa Jawa memiliki mas, kangmas untuk
menyebutkan istilah anak dari kakaknya ayah atau ibu yang laki-laki dan mbak, mbakyu,
yu untuk istilah anak dari kakaknya ayah atau ibu yang perempuan. Bahasa Jawa
mengenal adi lanang, sedulur lanang untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak dari
adiknya ayah atau ibu yang laki-laki dan adi wedo?, sedulur wedok untuk istilah anak
dari adiknya ayah atau ibu yang perempuan.
Bahasa Sunda membedakan istilah kekerabatan anak dari kakaknya ayah atau ibu
dan anak dari adiknya ayah atau ibu berdasarkan perbedaan usia tetapi tidak atas jenis
kelamin. Bahasa Sunda mengenal kapi lanceuk untuk menyebutkan istilah kekerabatan
anak dari kakaknya ayah atau ibu, baik perempuan maupun laki-laki. Bahasa Sunda
memilki kapi adi atau kapi rayi untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak dari adiknya
ayah atau ibu, baik perempuan maupun laki-laki.
Bahasa Madura membedakan atas jenis kelamin untuk menyebutkan istilah
kekerabatan anak dari kakaknya ayah atau ibu tetapi tidak untuk menyebutkan istilah
anak dari adiknya ayah atau ibu. Bahasa Madura mengenal p.nakan (diikuti nama),
kacu. untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak dari kakaknya ayah atau ibu yang
laki-laki serta c.bi. untuk anak dari kakaknya ayah atau ibu yang perempuan. Bahasa
untuk anak dari adiknya ayah atau ibu, baik h, panggil nama.p.p.Madura memiliki s
yang laki-laki maupun perempuan.
Bahasa Minang tidak membedakan atas jenis kelamin tetapi atas perbedaan usia
untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak dari kakaknya ayah atau ibu serta anak dari
adiknya ibu atau ayah. Bahasa Minang mengenal anak bako, panggil nama untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anak dari kakaknya ayah atau ibu, baik laki-laki
maupun perempuan. Bahasa Minang memiliki sepupu, panggil nama untuk menyebutkan
istilah kekerabatan anak dari adiknya ayah atau ibu, baik yang laki-laki maupun
perempuan.
Bahasa Bali tidak membedakan atas jenis kelamin dan perbedaan usia untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anak dari kakaknya ayah atau ibu dan anak dari adiknya
ayah atau ibu. Bahasa Bali mengenal satu konsep, yaitu misan atau keponakan uli bli
untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak dari kakaknya ayah atau ibu serta anak dari
adiknya ayah atau ibu, baik yang perempuan maupun yang laki-laki.
f. Istilah Kekerabatan Anaknya Cucu
Bahasa Indonesia tidak membedakan atas jenis kelamin dan usia untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu. Bahasa Indonesia mengenal istilah cicit
untuk menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu laki-laki dan perempuan, baik yang
tua maupun yang muda.
Bahasa Jawa selaras dengan bahasa Indonesia, yaitu tidak membedakan atas
perbedaan jenis kelamin dan usia untuk menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu
ini. Bahasa Jawa mengenal buyut untuk menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu,
baik laki-laki maupun perempuan yang lebih tua atau lebih muda.
Bahasa Sunda selaras dengan bahasa Indonesia dengan tidak membedakan atas
perbedaan jenis kelamin serta usia untuk menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu
ini. Bahasa Sunda memiliki istilah yang sama dengan bahasa Jawa, yaitu buyut untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu, baik laki-laki maupun perempuan yang
lebih muda atau yang lebih tua.
Bahasa Madura mulai membedakan atas perbedaan jenis kelamin tetapi tidak atas
usia untuk menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu ini. Bahasa Madura memiliki
kacu.
untuk menyebutkan anaknya cucu yang laki-laki dan dengan istilah piy.? untuk
menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu yang perempuan, baik lebih tua maupun
lebih muda.
Bahasa Minang selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan anaknya cucu tanpa membedakan jenis kelamin dan usia. Bahasa Minang
memiliki piyuik, panggil nama untuk menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu,
baik laki-laki maupun perempuan yang lebih tua atau lebih muda.
Bahasa Bali juga selaras dengan pola bahasa Indonesia untuk menyebutkan
istilah kekerabatan anaknya cucu tanpa membedakan jenis kelamin dan usia. Bahasa Bali
mengenal istilah kumpi untuk menyebutkan istilah kekerabatan anaknya cucu, baik lakilaki
maupun perempuan yang lebih tua atau yang lebih muda.
g. Istilah Kekerabatan Besan
Bahasa Indonesia secara spesifik tidak memiliki istilah kekerabatan besan ini.
Sebutan untuk besan dalam bahasa Indonesia masih berujud frasa, yaitu istilah
kekerabatan sebutan antar orang tua mempelai yang dihubungkan atas pertalian
perkawinan. Bahasa Indonesia untuk istilah ringkasnya dalam menyebutkan istilah
kekerabatan ini meminjam dari bahasa Jawa dan Sunda.
Bahasa Jawa memiliki istilah ini dengan tanpa membedakan atas perbedaan usia
dan jenis kelamin untuk menyebutkan istilah kekerabatan besan. Bahasa Jawa mengenal
besan untuk menyebutkan istilah kekerabatan sebutan antarorang tua mempelai yang
dihubungkan oleh pertalian perkawinan, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Bahasa Sunda memiliki istilah ini dengan tanpa membedakan atas perbedaan jenis
kelamin dan usia untuk menyebutkan istilah kekerabatan besan. Bahasa Sunda
mempopulerkan besan ini untuk menyebutkan istilah kekerabatan untuk sebutan
antarorang tua mempelai yang dihubungkan oleh pertalian perkawinan, baik yang lakilaki
maupun yang perempuan.
Bahasa Madura mengenal istilah kekerabatan besan ini tanpa membedakan atas
perbedaan usia dan jenis kelamin. Bahasa Madura memiliki bisan, ta. bisan untuk
menyebutkan istilah kekerabatan besan ini, baik yang laki-laki maupun yang perempuan
untuk yang lebih tua atau lebih muda.
Bahasa Minang mengenal istilah kekerabatan besan ini tanpa membedakan atas
perbedaan usia dan jenis kelamin. Bahasa Minang mengenal bisan, panggil nama, gelar
untuk menyebutkan istilah kekerabatan untuk sebutan antarorang tua mempelai yang
dihubungkan oleh pertalian perkawinan, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Bahasa Bali tidak membedakan atas jenis kelamin dan usia untuk menyebutkan
istilah kekerabatan besan. Bahasa Bali memiliki matua panake, warang untuk
menyebutkan istilah kekerabatan sebutan antarorang tua mempelai yang dihubungkan
oleh pertalian perkawinan, baik yang laki-laki maupun yang perempuan tanpa
membedakan usia lebih tua dan usia lebih muda.
h. Istilah Kekerabatan Cucu
Bahasa Indonesia untuk istilah kekerabatan cucu ini tidak membedakan atas
perbedaan jenis kelamin dan usia. Bahasa Indonesia memiliki satu konsep, yaitu cucu
untuk menyebutkan istilah kekerabatan anaknya, anak generasi ketiga setelah orang tua,
baik diperuntukkan bagi cucu laki-laki maupun perempuan.
Bahasa Jawa tidak membedakan atas perbedaan jenis kelamin dan usia untuk
menyebutkan istilah kekerabatan cucu. Bahasa Jawa mengenal putu untuk menyebutkan
istilah kekerabatan cucu, baik laki-laki maupun perempuan.
Bahasa Sunda tidak membedakan atas perbedaan jenis kelamin dan usia untuk
menyebutkan istilah kekerabatan cucu. Bahasa Sunda mengenal incu?, putu untuk
menyebutkan istilah kekerabatan cucu, baik yang laki-laki maupun perempuan.
Bahasa Madura tidak membedakan atas jenis kelamin dan usia untuk
untuk?.p.y, kr.mp.k. Bahasa Madura memiliki cucumenyebutkan istilah kekerabatan
menyebutkan istilah kekerabatan cucu, baik laki-laki maupun perempuan.
Bahasa Minang tidak membedakan atas perbedaan usia dan jenis kelamin untuk
istilah kekerabatan cucu. Bahasa Minang mengenal cucu, panggil nama, seperti dalam
bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah kekerabatan cucu, baik laki-laki maupun
perempuan.
Bahasa Bali tidak membedakan atas perbedaan usia dan jenis kelamin untuk
menyebutkan istilah kekerabatan cucu. Bahasa Bali memiliki istilah cucu seperti dalam
bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah kekerabatan cucu, baik yang laki-laki
maupun perempuan.
I. Istilah Kekerabatan Kakek dan Nenek
Bahasa Indonesia mengenal istilah kekerabatan satu tingkat di atas garis
keturunan orang tua yang dikenal dengan sebutan kakek dan nenek. Bahasa Indonesia
yang banyak didukung oleh penutur yang dwibahasawan tidak membedakan atas usia
tetapi menetapkan perbedaan jenis kelamin untuk menyebutkan istilah kekerabatan kakek
dan nenek.
Bahasa Jawa membedakan atas perbedaan jenis kelamin tetapi tidak atas usia
untuk istilah kekerabatan kakek dan nenek. Bahasa daerah ini memiliki simbah lanang,
mbah lanang, mbah kakung untuk menyebutkan istilah kekerabatan kakek atau sebutan
bapak dari ayah atau ibu. Bahasa Jawa mengenal simbah wadon, mbah putri, mbah untuk
menyebutkan istilah kekerabatan ibu dari ayah atau ibu yang berjenis kelamin perempuan
dihubungkan oleh garis hubungan perkawinan atau seturunan.
Bahasa Sunda selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan orang tua dari ayah atau ibu, yaitu membedakan atas perbedaan jenis
kelamin namun bukan atas usia. Bahasa daerah ini mengenal aki untuk menyebutkan
istilah kekerabatan kakek atau orang tua yang laki-laki dari ayah atau ibu. Bahasa Sunda
memiliki nini untuk menyebutkan istilah kekerabatan nenek atau orang tua yang
perempuan dari ayah atau ibu, baik dihubungkan oleh garis keturunan sedarah maupun
sekandung.
Bahasa Madura membedakan atas perbedaan jenis kelamin tetapi tidak atas usia.
Bahasa Madura mengenal .mba, mba, mba lake? untuk menyebutkan istilah kekerabatan
orang tua yang laki-laki dari ayah atau ibu. Bahasa Madura juga memiliki mba bini?,
mba, .mba untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua yang perempuan dari ayah
atau ibu, baik dihubungkan oleh garis keturunan sedarah, sekandung, maupun seturunan.
Bahasa Minang membedakan juga atas perbedaan jenis kelamin tetapi tidak atas
usia untuk istilah kekerabatan kakek dan nenek. Bahasa Minang menggunakan datuak,
angku, datuk, inyiak, abak gaek untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua yang
laki-laki dari ayah atau ibu. Munculnya banyak istilah untuk kekerabatan kakek ini
merupakan wujud variasi dialektal yang ada di dalam bahasa Minang. Bahasa Minang
juga memiliki nek, nyiak, nenek, uwo, andung untuk menyebutkan istilah kekerabatan
orang tua yang perempuan dari ayah atau ibu.
Bahasa Bali selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan kakek dan nenek, yaitu membedakan atas perbedaan jenis kelamin tetapi
tidak atas usia. Bahasa Bali menggunakan p.kak, kaki, wayah untuk menyebutkan
istilah kekerabatan orang tua yang laki-laki dari ayah atau ibu. Munculnya tiga variasi
istilah untuk menyebutkan satu istilah kekerabatan kakek tersebut merupakan wujud
terakomodasikannya variasi dialektal ke dalam khasanah bahasa Bali. Bahasa Bali juga
memiliki dadong, odah, niang, nini untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua
yang perempuan dari ayah atau ibu. Digunakannya empat variasi istilah kekerabatan
untuk menyebutkan satu istilah kekerabatan nenek di dalam bahasa Bali menunjukkan
kekayaan variasi dialektal yang terakomodasi oleh masyarakat penuturnya.
j. Istilah Kekerabatan Menantu
Konsep Budaya bahasa Indonesia untuk istilah kekerabatan menantu ini tidak
dibedakan atas perbedaan jenis kelamin dan usia. Bahasa Indonesia mengenal menantu
untuk menyebutkan istilah kekerabatan anak menantu hasil hubungan pertalian
perkawinan, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Bahasa Jawa selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan menantu, yaitu tanpa membedakan atas jenis kelamin dan usia. Bahasa Jawa
mempunyai istilah mantu untuk menyebutkan istilah kekerabatan menantu, baik yang
laki-laki maupun yang perempuan. Konsep mantu dalam bahasa Jawa memiliki dua
makna, yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi adalah anak-anak
yang dihasilkan oleh hubungan tali perkawinan sedangkan makna konotasinya, yaitu
orang tua mempunyai hajat untuk menikahkan anak. Konsep budaya seperti itu tidak
dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Bahasa Sunda menyebutkan istilah kekerabatan menantu selaras dengan
penyebutan yang dikonsepkan oleh bahasa Indonesia. Bahasa Sunda tidak membedakan
atas perbedaan usia dan jenis kelamin untuk menyebutkan istilah kekerabatan menantu.
Bahasa Sunda menggunakan minantu untuk menyebutkan istilah kekerabatan menantu,
baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Bahasa Sunda untuk istilah menantu lebih
dekat dengan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Jawa karena bahasa Sunda
hanya mengalami perubahan bunyi /e/ dari bahasa Indonesia menjadi /i/ dalam bahasa
Sunda.
Bahasa Madura selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan menantu, yaitu tidak membedakan atas usia dan jenis kelamin. Bahasa ini
untuk menyebutkan istilah kekerabatan menantu, baik yang laki-.h, kacu.mantmemiliki
dalam bahasa Madura lebih dekat dengan h.mantKonseplaki maupun yang perempuan.
konsep istilah yang dimiliki bahasa Jawa namun untuk istilah kacu. bahasa Madura
menyamakan dengan istilah anak hasil hubungan pertalian sedarah atau sekandung.
Bahasa Minang memiliki konsep yang sama dengan bahasa Indonesia untuk
menyebutkan istilah kekerabatan menantu. Bahasa Minang mengenal minantu, panggil
nama, panggil gelar untuk menyebutkan istilah kekerabatan menantu,baik yang laki-laki
maupun yang perempuan. Bahasa Minang menganut garis keturunan matrilineal memang
lebih dekat dengan konsep bahasa Indonesia jika dibandingkan dengan konsep bahasa
daerah lain.
Bahasa Bali tidak membedakan atas perbedaan jenis kelamin dan usia untuk
sebutan kekerabatan menantu. Bahasa daerah ini mengenal istilah mantu untuk
menyebutkan istilah kekerabatan menantu, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.
Konsep mantu ini secara budaya sebenarnya lebih dekat dengan konsep budaya
kekerabatan bahasa Jawa jika dibandingkan dengan konsep bahasa daerah lain.
k. Istilah Kekerabatan Mertua
Konsep istilah kekerabatan mertua ini merupakan bentuk istilah yang
menunjukkan persona jamak dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menggunakan
istilah kekerabatan mertua untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua dari anakanak,
baik hasil hubungan pertalian sedarah, sekandung, maupun hasil pertalian
perkawinan. Konsep mertua dalam bahasa Indonesia ini menunjukkan sebutan
kekerabatan kedua belah pihak orang tua hasil hubungan pertalian perkawinan dan
seturunan, baik yang perempuan maupun yang laki-laki.
Bahasa Jawa selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan mertua, yaitu tanpa membedakan atas perbedaan usia dan jenis kelamin.
Bahasa Jawa memiliki konsep maratuwa untuk menyebutkan istilah kekerabatan mertua,
baik yang laki-laki maupun yang perempuan hasil hubungan pertalian perkawinan.
Konsep persona dalam istilah maratuwa ini juga sama dengan bahasa Indonesia, yaitu
menunjukkan persona jamak.
Bahasa Sunda selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan mertua, yaitu tanpa membedakan atas perbedaan usia dan jenis kelamin.
Bahasa daerah ini memiliki konsep istilah mitoha untuk menyebutkan istilah kekerabatan
mertua, baik yang laki-laki maupun yang perempuan hasil hubungan pertalian
perkawinan. Konsep mitoha bahasa Sunda sama juga dengan bahasa Indonesia, yaitu
menunjuk pada persona jamak.
Bahasa Madura berbeda dengan konsep yang diusung oleh bahasa Indonesia
dalam menyebutkan istilah kekebatan mertua. Bahasa Madura memperkenalkan dua
istilah yang tidak dibedakan atas jenis kelamin dan usia sedangkan satu istilah lainnya
dibedakan atas jenis kelamin tetapi tidak atas usia. Bahasa Madura mengenal m.tuah
untuk menyebutkan istilah kekerabatan mertua, baik yang perempuan maupun yang lakilaki.
Bahasa daerah ini memiliki istilah .mbu? untuk menyebutkan istilah kekerabatan
mertua yang perempuan dan memakai istilah .mak untuk menyebutkan istilah
kekerabatan mertua yang laki-laki. Dua konsep istilah berbeda dalam satu bahasa, yaitu
bahasa Madura seperti tersebut di atas merupakan kekayaan khasanah budaya dan bahasa
setempat yang didukung oleh empat vairasi dialek yang ada dalam bahasa Madura.
Bahasa Minang selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan mertua, yaitu tidak membedakan atas perbedaan jenis kelamin dan usia.
Bahasa Minang mengenal amak, ama, apa, mintuo untuk menyebutkan istilah
kekerabatan mertua, baik yang laki-laki maupun yang perempuan hasil hubungan
pertalian perkawinan. Empat variasi istilah kekerabatan untuk menyebutkan satu bentuk
kekerabatan mertua tersebut merupakan wujud variasi dialektal di dalam bahasa Minang.
Bahasa Bali selaras dengan konsep penyebutan bahasa Indonesia untuk istilah
kekerabatan mertua, yaitu tanpa membedakan atas perbedaan jenis kelamin dan usia.
Bahasa Bali mengenal matua untuk menyebutkan istilah kekerabatan mertua, baik yang
laki-laki maupun yang perempuan hasil hubungan pertalian perkawinan. Konsep matua
di dalam bahasa Bali ini juga merupakan bentuk persona jamak seperti di dalam bahasa
Indonesia.
l. Istilah Kekerabatan Orang tua Kakek atau Nenek
Konsep istilah kekerabatan orang tua kakek atau nenek dalam bahasa Indonesia
sebenarnya secara spesifik tidak memiliki. Bahasa Indonesia untuk mengungkapkan
konsep istilah kekerabatan tersebut menggunakan sebutan frasa benda, yaitu orang tua
kakek atau orang tua nenek. Dengan demikian, bahasa Indonesia menyebutkan istilah
kekerabatan itu masih secara abstrak namun dalam perkembangannya bahasa Indonesia
memiliki istilah moyang.
Bahasa Jawa secara spesifik memiliki buyut, mbah buyut untuk menyebutkan
istilah kekerabatan orang tua kakek atau nenek dengan tanpa membedakan perbedaan
jenis kelamin dan usia. Konsep istilah kekerabatan buyut, mbah buyut ini digunakan
untuk menyebutkan orang tua kakek atau nenek, baik yang laki-laki maupun yang
perempuan. Bahasa Jawa untuk konsep istilah kekerabatan ini menggantikan posisi
bentuk persona jamak.
Bahasa Sunda mengenai istilah kekerabatan ini tidak membedakan atas perbedaan
jenis kelamin dan usia. Bahasa daerah ini memiliki buyut, uyut untuk menyebutkan
istilah kekerabatan orang tua kakek atau nenek, baik yang laki-laki maupun yang
perempuan. Konsep istilah ini dalam bahasa Sunda juga berfungsi sebagai pengganti
bentuk persona jamak.
Bahasa Madura memiliki istilah kai, .mba untuk menyebutkan istilah kekerabatan
orang tua kakek atau nenek, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Konsep ini
sama dengan dua bahasa daerah terdahulu, yaitu untuk menggantikan bentuk persona
jamak.
Bahasa Minang berbeda dengan konsep bahasa daerah lainnya karena bahasa ini
menganut garis patrilineal untuk menyebutkan istilah kekerabatannya. Bahasa daerah ini
membedakan atas perbedaan jenis kelamin tetapi tidak atas usia. Bahasa Minang
mengenal istilah datuak, andung tuo, mak tuo untuk menyebutkan orang tua kakek atau
nenek yang laki-laki. Bahasa Minang juga memiliki istilah gaek, inyia?, ibu tuo untuk
menyebutkan istilah kekerabatan orang tua kakek atau nenek yang perempuan. Kedua
bentuk konsep istilah kekerabatan ini digunakan dalam bahasa Minang sebagai pengganti
bentuk persona tunggal.
Bahasa Bali membedakan atas perbedaan jenis kelamin tetapi tidak atas usia.
Bahasa daerah ini mengenal istilah kumpi, kompiang, kumpi muani untuk menyebutkan
istilah kekerabatan orang tua kakek atau nenek yang laki-laki. Bahasa Bali juga memiliki
istilah kumpi luh untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua kakek atau nenek yang
perempuan. Konsep istilah kekerabatan bahasa Bali ini merupakan pengganti dari bentuk
persona tunggal.
m. Istilah Kekerabatan Bapak dan Ibu
Bahasa Indonesia mengenal istilah kekerabatan orang tua sekandung ini
dibedakan atas perbedaan jenis kelamin. Bahasa Indonesia memiliki istilah bapak untuk
menyebutkan istilah kekerabatan orang tua yang laki-laki. Bahasa ini juga menggunakan
istilah ibu untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua sekandung yang perempuan.
Bahasa Jawa selaras dengan bahasa Indonesia dalam menyebutkan istilah
kekerabatan bapak dan ibu ini, yaitu membedakannya atas perbedaan jenis kelamin.
Bahasa daerah ini menggunakan istilah bapak, pak untuk menyebutkan istilah
kekerabatan orang tua sekandung yang laki-laki. Bahasa Jawa juga mengenal istilah ibu,
bu, simbok, mbok untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua sekandung yang
perempuan.
Bahasa Sunda selaras dengan bahasa Indonesia di dalam menyebutkan istilah
kekerabatan orang tua sekandung, yaitu membedakannya atas perbedaan jenis kelamin.
Bahasa daerah ini mengenal istilah bapa, abah untuk menyebutkan istilah kekerabatan
orang tua sekandung yang laki-laki. Bahasa Sunda juga memiliki istilah .ma, ambu
untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua sekandung yang perempuan.
Munculnya dua varian untuk istilah kekerabatan bapak dan ibu ini merupakan bentuk
variasi dialektal antara wujud tuturan kota dan desa di dalam bahasa Sunda.
Bahasa Madura selaras dengan bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah
kekerabatan bapak dan ibu, yaitu membedakannya atas perbedaan jenis kelamin. Bahasa
daerah ini menggunakan bapa, .pa untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua
sekandung yang laki-laki. Bahasa Madura juga mengenal istilah ambu untuk
menyebutkan istilah kekerabatan orang tua sekandung yang laki-laki.
Bahasa Minang selaras juga dengan bahasa Indonesia di dalam menyebutkan
istilah kekerabatan bapak dan ibu, yaitu membedakan atas perbedaan jenis kelamin.
Bahasa Minang mengenal amak, andek, ibu, one, ande untuk menyebutkan istilah
kekerabatan orang tua sekandung yang perempuan. Bahasa daerah ini juga memiliki
apak, ayah, abak, apa untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua sekandung yang
laki-laki. Munculnya empat sampai lima varian untuk menyebutkan istilah kekerabatan
bapak dan ibu ini menunjukkan bahwa penutur bahasa Minang mengakomodasi variasi
dialektal yang ada di wilayah tutur Minangkabau ke dalam bahasa daerahnya.
Bahasa Bali juga selaras dengan bahasa Indonesia di dalam menyebutkan istilah
kekerabatan bapak dan ibu, yaitu membedakannya atas perbedaan jenis kelamin. Bahasa
Bali menggunakan istilah bapa untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua
sekandung yang laki-laki. Bahasa daerah ini juga memiliki istilah meme untuk
menyebutkan istilah kekerabatan orang tua sekandung yang perempuan. Munculnya satu
konsep di dalam bahasa Bali untuk menyebutkan istilah kekerabatan bapak dan ibu ini
merupakan wujud kesepahaman di antara varian dialek yang ada dalam masyarakat tutur
bahasa Bali.
n. Istilah Kekerabatan Orang Tua di atas Buyut
Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah kekerabatan orang tua di atas buyut.
Bahasa ini cenderung menyebutkannya dengan kelompok frasa orang tua di atas buyut
karena konsep budaya di dalam bahasa Indonesia tidak memiliki diksi untuk
mengungkapkannya.
Bahasa Jawa memiliki wareng untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua
di atas buyut, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Jadi, bahasa Jawa mengenal
istilah kekerabatan ini dengan tidak membedakannya atas perbedaan jenis kelamin.
Bahasa Sunda menggunakan bao untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang
tua di atas buyut, baik yang laki-laki atau perempuan. Bahasa daerah ini juga tidak
membedakan atas perbedaan jenis kelamin untuk meyebutkan istilah kekerabatan orang
tua di atas buyut.
Bahasa Madura, Minang, dan Bali sama dengan bahasa Indonesia, yaitu tidak
memiliki konsep istilah untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua di atas buyut.
Ketiga bahasa daerah ini tidak memiliki istilah yang dimaksud karena dalam konsep
budaya dan bahasa daerahnya tidak ada diksi untuk mengungkapkannya.
o. Istilah kekerabatan Orang Tua di atas Wareng
Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah kekerabatan orang tua di atas wareng.
Bahasa ini cenderung menyebutkannya dengan kelompok frasa orang tua di atas wareng
karena konsep budaya di dalam bahasa Indonesia tidak memiliki diksi untuk
mengungkapkannya.
Bahasa Jawa memiliki udeg-udeg gantung siwur untuk menyebutkan istilah
kekerabatan orang tua di atas wareng, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Jadi,
bahasa Jawa mengenal istilah kekerabatan ini dengan tidak membedakannya atas
perbedaan jenis kelamin.
Bahasa Sunda menggunakan udeg-udeg untuk menyebutkan istilah kekerabatan
orang tua di atas wareng, baik yang laki-laki atau perempuan. Bahasa daerah ini juga
tidak membedakan atas perbedaan jenis kelamin untuk meyebutkan istilah kekerabatan
orang tua di atas wareng.
Bahasa Madura, Minang, dan Bali sama dengan bahasa Indonesia, yaitu tidak
memiliki konsep istilah untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua di atas wareng.
Ketiga bahasa daerah ini tidak memiliki istilah yang dimaksud karena dalam konsep
budaya dan bahasa daerahnya tidak ada diksi untuk mengungkapkannya.
p. Istilah Kekerabatan Orang Tua di atas Udeg-udeg
Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah kekerabatan orang tua di atas Udeg-udeg.
Bahasa ini cenderung menyebutkannya dengan kelompok frasa orang tua di atas Udegudeg
karena konsep budaya di dalam bahasa Indonesia tidak memiliki diksi untuk
mengungkapkannya.
Bahasa Sunda menggunakan istilah janggawareng untuk menyebutkan istilah
kekerabatan orang tua di atas Udeg-udeg, baik yang laki-laki atau perempuan. Bahasa
daerah ini juga tidak membedakan atas perbedaan jenis kelamin untuk meyebutkan istilah
kekerabatan orang tua di atas Udeg-udeg.
Bahasa Jawa, Madura, Minang, dan Bali sama dengan bahasa Indonesia, yaitu
tidak memiliki konsep istilah untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua di atas
Udeg-udeg. Kempat bahasa daerah ini tidak memiliki istilah yang dimaksud karena
dalam konsep budaya dan bahasa daerahnya tidak ada diksi untuk mengungkapkannya.
q. Istilah Kekerabatan Orang Tua di atas Janggawareng
Bahasa Indonesia tidak memiliki istilah kekerabatan orang tua di atas
Janggawareng. Bahasa ini cenderung menyebutkannya dengan kelompok frasa orang tua
di atas Janggawareng karena konsep budaya di dalam bahasa Indonesia tidak memiliki
diksi untuk mengungkapkannya.
Bahasa Sunda menggunakan kaitsiwur untuk menyebutkan istilah kekerabatan
orang tua di atas Janggawareng, baik yang laki-laki atau perempuan. Bahasa daerah ini
juga tidak membedakan atas perbedaan jenis kelamin untuk meyebutkan istilah
kekerabatan orang tua di atas Janggawareng.
Bahasa Jawa, Madura, Minang, dan Bali sama dengan bahasa Indonesia, yaitu
tidak memiliki konsep istilah untuk menyebutkan istilah kekerabatan orang tua di atas
Janggawareng. Kempat bahasa daerah ini tidak memiliki istilah yang dimaksud karena
dalam konsep budaya dan bahasa daerahnya tidak ada diksi untuk mengungkapkannya.
5. Simpulan
Penelitian “Istilah Kekerabatan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah
dalam Kajian Etnolinguistik” berhasil menemukan deskripsi umum variasi Istilah
Kekerabatan di Indonesia. Bahasa Indonesia ditemukan 15 istilah kekerabatan. Bahasa
Jawa mengenal 28 istilah kekerabatan. Bahasa Sunda mempunyai 29 istilah kekerabatan.
Bahasa Madura hanya memiliki 23 istilah kekerabatan. Bahasa Minang mengenal 27
istilah kekerabatan. Bahasa Bali juga memiliki 27 istilah kekerabatan.
Bahasa Indonesia hanya mengenal istilah kekerabatan sampai tiga generasi di
atas garis ayah dan ibu, yaitu nenek, kakek, moyang, dan buyut. Bahasa Jawa memiliki
konsep satu tingkat di atas bahasa Indonesia, yaitu mengenel empat (4) generasi setelah
garis ayah dan ibu, yaitu mbah lanang. mbah putri, mbah buyut, wareng, dan udeg-udeg
gantung siwur. Bahasa Sunda bahkan lebih lengkap dari bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa, yaitu mengenal enam (6) generasi di atas garis ayah dan ibu seperti aki, nini, uyut,
bao, janggawareng, udeg-udeg, dan kaitsiwur atau gantung siwur. Adapun tiga bahasa
daerah lainnya, yaitu bahasa Madura, Minang, dan Bali malah lebih sederhana hanya
mengenal dua generasi di atas garis ayah dan ibu.
Bahasa Madura memiliki dua istilah kekerabatan di atas garis ayah dan ibu, yaitu
mba bini?, mba lake? dan kai atau .mba. Bahasa Minang mengenal dua istilah
kekerabatan di atas garis ayah atau ibu, yaitu andung, angku, dan datuak atau gaek,
inyiak,, ibu tuo, andung tuo, mak tuo. Bahasa Bali mempunyai dua istilah kekerabatan di
atas garis ayah dan ibu, yaitu dadong, p.kak, dan kumpi, kompiang, kumpi muani/ kumpi
luh.
Temuan lain menunjukkan bahwa pemakaian istilah kekerabatan antara bahasa
Indonesia dengan kelima bahasa daerah yang diteli terjadi sedikit kerumpangan karena
dibedakan oleh konsep budaya dan bahasa yang agak berbeda. Sebagai contoh untuk
istilah kekerabatan paman dan bibi bahasa Indonesia memperuntukkan bagi istilah
kekerabatan saudara ayah atau ibu yang lebih tua atau lebih muda.
Konsep istilah kekerabatan paman dan bibi seperti dalam bahasa Indonesia
tersebut untuk bahasa Jawa dibedakan antara yang lebih tua dan yang lebih muda. Bahasa
Jawa untuk istilah kekerabatan itu mengenal pakdhe, budhe (kakak laki-laki dan
perempuan ayah atau ibu), dan paklik, bulik (adik laki-laki dan perempuan ayah atau ibu).
Bahasa Sunda memiliki konsep berbeda dengan bahasa Indonesia dan Jawa untuk istilah
kekerabatan paman dan bibi. Bahasa Sunda tidak membedakan laki-laki atau perempuan
serta tua atau muda untuk istilah kakak laki-laki atau perempuan ayah atau ibu, yaitu satu
konsep istilah ua tetapi bahasa Sunda membedakannya untuk istilah adik laki-laki atau
perempuan ayah atau ibu, yaitu mengenal konsep mamang (adik laki-laki ayah atau ibu)
dan bibi (adik perempuan ayah atau ibu).
Bahasa Madura berbeda juga dengan konsep istilah paman dan bibi seperti yang
diusung bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda. Bahasa Madura tidak membedakan laki-laki
dan perempuan untuk istilah kekerabatan kakak laki-laki dan perempuan ayah atau ibu,
yaitu mengenal satu istilah paman atau khutheh. Bahasa Madura juga mengenal istilah
paman atau khutheh untuk istilah kekerabatan adik laki-laki ayah atau ibu dan memiliki
istilah ning atau bibi? untuk istilah adik perempuan ayah atau ibu.
Bahasa Minang selaras dengan bahasa Jawa untuk penyebutan istilah kekerabatan
paman dan bibi, yaitu mengenal istilah li pak uwo untuk kakak laki-laki ayah atau ibu dan
mamak pi mak uwo untuk kakak perempuan ayah atau ibu. Bahasa Minang juga
mengenal istilah pak etek/ mamak, mak etek, makciak, mak uniang untuk istilah
kekerabatan adik laki-laki ayah atau ibu dan ning atau bibi? untuk adik perempuan ayah
atau ibu.
Bahasa Bali selaras dengan bahasa Madura untuk menyebutkan istilah
kekerabatan paman dan bibi, yaitu mengenal istilah guru, bap., wa/ uwa untuk istilah
kekerabatan kakak laki-laki dan perempuan ayah atau ibu dan adik laki-laki ayah atau
ibu. Bahasa Bali juga memiliki istila meme untuk menyebutkan istilah kekerabatan adik
perempuan ayah atau ibu.
Secara umum istilah kekerabatan bahasa Indonesia masih selaras dengan lima
bahasa daerah yang dikaji namun untuk beberapa istilah hanya terjadi kerumpangan
karena perbedaan penyebutan jenis kelamin dan usia.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Roger dan Albert Gilman, 1997. “The Users and Uses of Language”, dalam
Joshua A. Fishman (ed.). Readings in Sociology of Language. Paris: The Hague
Mouton.
Bright, William (Ed)., 1971. Sosiolinguistics. Paris: The Hague.
Coolsma, S., 1985. Tata Bahasa Sunda. Jakarta: Djambatan.
Coulon, Alain, 2004. Etnometodologi. Jakarta dan Mataram: Kelompok Kajian Studi
Kultural (KSSK) dan Yayasan Lengge.
Crystal, David, 1987. The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge
University.
Denes, I Made dkk, 1985. Geografi Dialek Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ervin-Tripp, Susan N., 1972. “On Sociolinguistics Rules: Alternation and Coocusence”
dalam John J. Gumperz and Dell Hymes. Editor. Directions in Sociolinguistics:
The Etnography of Communication. 213—250. New York: Holt, Rinehart and
Winston, Inc.
Fishman, Joshua (ed.)., 1972. The Sociology of Language. Massachussets: Newbury
House Publishers Inc.
Goodenough, W H., 1981. Culture, Language, and Society. Menlo Park, California,
Reading Massachucetts, London, Amsterdam, Don Mills, Ontario, dan Sydney:
The Benjamin/ Cummings Publishing Company, Inc.
Gumperz J.J. dan Hymes, Dell (Ed.) Directions in Sociolinguistics. New York: Holt,
Rinehart, and Winston.
Holmes, Janet, 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London and New York:
Longman.
Hoonia, Bekim, 1984. Sistem Morfologi Kata Benda dan Kata Sifat Bahasa
Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Hymes, Dell, 1972. “Models of Interaction of Language and Social Lie” dalam Gumperz
J.J. dan Hymes, Dell (Ed.) Directions in Sociolinguistics. New York: Holt,
Rinehart, and Winston.
Kartika, Sari, 2001. Telaah Bentuk Sapaan Bahasa Minangkabau Dialek 50 Kota.
Padang: Balai Bahasa Padang, Pusat Bahasa Depdiknas.
Kartini, Tini, 1985. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Sunda di Jawa Barat. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat, 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Kridalaksana, Harimurti, 1968. “Second Participant in Indonesian Adress” dalam
Language Sciences 31.
Lehrer, Adrienne, 1974. Semantic Fields and Lexical Structures. Amsterdam: North-
Holland Publishing Company.
__________________, 1975. “Second Participant in Indonesian Adresse”. dalam
Beberapa Karya dalam Ilmu-Ilmu Sastra. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
__________________, 1984. “Dinamika Tutur Sapa dalam Bahasa Indonesia”. dalam
Pelangi. Jakarta: Bhratara.
Mackey, William P., 1968. “The Description of Bilingualism” dalam Joshua A Fishman
(Ed.) Reading in Sociology of Language. The Hague: Mouton.
Milroy, Lesley., 1980. Language and Social Networks. Oxford: Basil Blackwell.
Moehnilabib, M. et.al., 1989. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Madura. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Prawiraatmaja, Dudu et.al., 1986. Perkembangan Bahasa Sunda Sesudah Perang Dunia
II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Rahardi, R. Kunjana, 2001. Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Spradley, James P., 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Sumarsono dan Paina Partana, 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka
Pelajar.
Wardhaugh, Ronald, 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil
Blackwell.
Wibisono, Bambang et.al., 2001. Penggunaan Kalimat Negatif dalam Bahasa Madura.
Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar