OLEH : Marcelinus Wahyu Putra K. S.Pd.
A.
Latar Belakang
Ras Mongoloid
merupakan salah satu dari ras manusia yang memiliki daerah persebaran yang
paling luas sejak berabad-abad yang lalu. Dalam ras Mongoloid tersebut terdapat
sub-ras Malayan-Mongoloid atau
disebut ras Melayu. Ras Melayu ini
meliputi daerah Asia Tenggara, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Indonesia (Koentjaraningrat,2009:71, 77).
Bangsa Melayu di
Indonesia meliputi mayoritas suku bangsa-suku bangsa di Indonesia. Penelitian
menunjukkan bahwa bangsa Melayu asli adalah bangsa agraris (Vlekke,2010:12).
Meskipun demikian, persebaran mereka dalam wilayah kepulauan (Indonesia)
mestinya juga menunjukkan bahwa mereka juga memiliki kemampuan dalam hal
pelayaran.
Kemampuan pelayaran
itu juga diketahui bersamaan dengan bidang kehidupan lain, yaitu perdagangan (Sejarah
Nasional Indonesia Jilid 1,1990:200-201). Kondisi geografis
Indonesia yang merupakan persilangan antara dua benua dan dua samudera telah
membuka celah bagi kegiatan pelayaran dan perdagangan lintas benua. Kegiatan
ini tentu membuat bangsa Melayu yang tinggal di daerah ini berinteraksi dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam ilmu-ilmu
sosial, dapat diketahui bahwa adanya interaksi dengan kebudayaan luar yang berlain-lainan
itu dapat membuat sebuah kebudayaan masyarakat mengalami perubahan atau
perkembangan (Soerjono Soekanto,2009:283).
A.
Sejarah Orang Melayu Di Indonesia
Orang melayu di Indonesia atau yang tergolong ras Melayu
sebenarnya merupakan sub-ras dari ras mongoloid
dan yang umumnya disebut sebagai malayan-mongoloid
yang juga
mencakup daerah kebudayaan Madagaskar (Koentjaraningrat,2009:244). Ras Melayu merupakan ras penutur asli bahasa Austronesia dengan berbagai dialeknya.
mencakup daerah kebudayaan Madagaskar (Koentjaraningrat,2009:244). Ras Melayu merupakan ras penutur asli bahasa Austronesia dengan berbagai dialeknya.
Orang Melayu di Indonesia merupakan imigran yang berasal
dari daerah asia (Cina bagian selatan). Nenek moyangnya yang paling tua berasal
dari jenis manusia Homo Sapiens Pekinensis
yang merupakan evolusi dari Pithecanthropus
Pekinensis yang fosilnya ditemukan di dekat Gua Chou Koutien. Homo Sapiens Pekinensis ini merupakan
manusia pertama yang menunjukan ciri ras mongoloid dan merupakan nenek moyang
dari ras khusus mongoloid yang tersebar dari Asia Timur sampai Amerika Selatan (Koentjaraningrat,2009:72).
Bangsa Melayu datang ke Indonesia melalui dua gelombang.
Gelombang pertama merupakan kadatangan bangsa Melayu yang disebut proto Melayu (Melayu Tua) diperkirakan
sekitar tahun 3.000 SM dan berasal dari daerah yang sekarang termasuk dalam propinsi
Yunnan, Cina bagian selatan. Mereka merupakan nenek moyang dari semua kelompok Melayu-Polinesia yang tersebar dari
Madagaskar sampai kepulauan Pasifik. Di Indonesia, suku bangsa yang termasuk
keturunan proto Melayu adalah suku bangsa Gayo dan Alas di Sumatera bagian
utara, termasuk suku bangsa Toraja di Sulawesi. Kedatangan mereka ke wilayah
Indonesia memberikan pengaruh terhadap kebudayaan dengan diperkenalkannya
kebudayaan neolitik (Vlekke,2010:10).
Bangsa Melayu yang datang di Indonesia pada gelombang ke
dua yang disebut deutero-Melayu (Melayu
Muda) merupakan ras Melayu yang berasal dari daerah Indocina. Ini mencakup
hampir semua suku bangsa Melayu di Indonesia. Kedatangan mereka pada sekitar
tahun 300 SM di Indonesia telah memperkenalkan kebudayaan logam (Vlekke,2010:10).
Pada akhirnya, kedua rumpun bangsa Melayu di atas saling
bertemu dan berinteraksi sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi. Akibatnya
terjadi percampuran antara dua rumpun bangsa Melayu tersebut sehingga sulit
untuk memberikan batasan yang jelas mengenai perbedaan antara keduanya.
B.
Kemampuan Kemaritiman Orang Melayu.
Kemampuan kemaritiman orang Melayu yang akan diulas
disini setidaknya mencakup dua hal yakni kemampuan membuat alat transportasi
laut dan kemampuan navigasi yang dibutuhkan untuk berlayar.
Proto-Melayu yang datang melalui jalur timur, sebelumnya
lewat pula ke utara, ke arah Asia Timur, melewati Samudera Pasifik hinga sampai
ke Indonesia. Kemampuan menjelajah samudera luas ini tentu menunjukkan
kemampuan kemaritiman yang luar biasa. Studi linguistik misalnya, kelompok
bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, dan Bali yang memiliki kaitan erat dengan
Malagasi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon membuktikan bahwa mereka adalah
pelaut-pelaut ulung (Vlekke, 2010:11).
Daerah persebaran bangsa Melayu yang merupakan daerah
kepulauan juga menunjukkan bahwa mereka telah mampu mengembangkan kemampuan
maritim sedemikian rupa sehingga mereka mampu menempuh daerah-daerah yang jauh
dari negeri asalnya melalui jalur laut (Hudjolly,2011:
dalam www.MelayuOnline.com).
Kemampuan melaut yang terpenting tentu merupakan
kemampuan dalam membuat alat transportasi laut. Alat transportasi ini
memungkinkan bangsa-bangsa Melayu menjelajah hingga lintas benua. Alat
transportasi laut yang dapat ditelusuri hingga ke zaman neolitikum adalah
kemampuan bangsa Melayu dalam membuat perahu.
Meski zaman neolitikum merupakan masa kebudayaan bercocok
tanam atau masa pertanian, namun kehidupan ekonomi masyarakat pada masa ini
tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian saja. Sebelum hasil pertanian dapat
dipanen, tentu ada selang waktu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kegiatan lain, seperti misalnya : membuat perahu.
Teknik pembuatan perahu pada masa neolitikum adalah
dengan menebang pohon, dan mengupas kulitnya setelah kering dengan menggunakan beliung. Selanjutnya adalah melubangi
kayu dengan cara membakar dan memasang cadik. Dengan demikian terciptalah
sebuah perahu bercadik (Sejarah Nasional
Indonesia Jilid 1,1990:200-201).
Dengan kemampuan membuat perahu itu, maka pada masa ini
juga telah berkembang kegiatan perdagangan dengan sistem barter. Barang-barang
dagangan diangkut dengan mengguanakan perahu, baik melalui jalur sungai atau
laut. Penggunaan perahu sebagai alat transportasi dan sarana perdagangan
memungkinkan pengangkutan barang dagangan dalam jumlah besar dan jarak yang
jauh sehingga lebih menguntungkan (Sejarah
Nasional Indonesia Jilid 1,1990:201).
Kemampuan membuat kapal ini dapat ditelusuri buktinya
dari zaman prasejarah berupa lukisan sampan yang terdapat pada dinding gua di
pulau Kei Kecil. Selain itu (meski kurang jelas), terdapat pula hiasan perahu
dalam nekara perunggu. Teknik pembuatan kapal ini berkembang pesat selama
berabad-abad kemudian pada zaman Indonesia-Hindu. Buktinya dapat ditelusuri
melaui reflief-relief yang terdapat pada candi Borobudur. Dari sini, jenis
kapal di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga jenis : perahu lesung, kapal besar tanpa cadik, kapal bercadik (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990:111-112).
Industri kapal mulai tergambar dengan jelas pada abad ke
16. Laporan Tom Pires dalam Suma Oriental,
menunjukkan bahwa Sultan Mansur (Malaka) yang akan berlayar ke Mekkah
menggunakan kapal dari Jawa. Dengan demikian, Jawa sudah dikenal oleh orang
Portugis sebagai penghasil kapal besar yang mampu berlayar hingga Arab.
Keahlian arsitek kapal Jawa juga terkenal hebat yang dibuktikan bahwa
Albuquerque membawa 60 tukang yang cakap pada waktu ia meninggalkan Malaka pada
tahun 1512 (Sejarah Nasional Indonesia
Jilid III, 1990: 117-118).
Selain kemampuan membuat alat transportasi laut,
kemampuan maritim orang Melayu juga ditunjukkan dalam kemampuannya menjelajah
perairan (terutama laut) dengan memanfaatkan musim dan angin. Kondisi
iklim dan geografis kepulauan, terutama di Nusantara, telah meningkatkan
kemampuan navigasi orang Malayu di Indonesia.
Andrian B Lapian, seperti yang dikutip oleh Hudjolly,
menyebutkan beberapa nama-nama angin dan rasi bintang yang dimanfaatkan oleh
para pelaut Melayu diantaranya : angin
sendalu (angin berkekuatan sedang), angin
buritan (angin yang datang dari arah buritan perahu), angin sorong (angin yang mendorong perahu), angin sakal (angin yang datang dari depan perahu), angin paksa (angin yang memaksa pelaut
untuk melempar jangkar). Selain nama angin juga terdapat nama-nama rasi bintang
yang menunjukkan sifat kemaritiman seperti nama “mayang” dan “biduk” (Hudjolly,2011: dalam www.MelayuOnline.com). Pada masyarakat Biak misalnya, mengenal rasi
bintang romangwandi, mereka
menggunakannya sebagai tanda apabila masih terlihat ekor dari rasi romangwandi (naga), menandakan angin
ribut di laut sudah berlalu, tetapi apabila rasi romangwandi masih berada di garis cakrawala, berarti musim angin
barat yang menyebabkan ombak besar dan mengganggu pelayaran (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, 1990:
101,108).
Kemampuan navigasi pelaut Indonesia jelas tergambar dalam
pengetahuannya mengenai rasi bintang sebagai penunjuk arah. Kemampuan ini
kemudian dapat mengesampingkan penggunaan kompas yang merupakan alat navigasi
yang penting. Kompas mungkin sekali diperkenalkan oleh pelaut dari Arab,
Persia, Gujarat dan Cina meski jarang digunakan oleh pelaut Indonesia sendiri
sehingga ketika Laksamana Steven ven der Haghen menjual kompas kepada pelaut
Indonesia, kompas itu tidak laku sehingga harus dikembalikan ke Belanda (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, 1990:
107).
Pengetahuan navigasi memang berbeda-beda perkembangannya
bagi masyarakat Melayu di Indonesia. Mereka memiliki kemampuan navigasi secara intuisi. Ada
yang mampu menentukan lokasi berdasarkan bentuk awan dan pantulan sinar
matahari, melihat warna, jenis dan arus air laut. Orang Bugis dan Makasar
memiliki kotika tiliq : naskah dalam
bahasa daerah untuk meramalkan apakah kapal yang dijumpainya bermaksud baik
atau jahat; dan kotika johoro : untuk
melihat apakah serangan laut bisa berhasil atau tidak (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, 1990: 109). Dengan demikian
bangsa Melayu rupanya sudah memiliki kemampuan bahari yang tinggi, sehingga
dapat dikatakan mereka memiliki keunggulan dalam bidang pelayaran dan
perdagangan yaitu dalam bidang pembuatan kapal dan pengetahuan navigasi.
C.
Pengaruh Pelayaran Dan Perdagangan Terhadap
Perkembangan Budaya Melayu
Budaya Melayu atau dalam hal ini adalah budaya yang
dimiliki oleh orang Melayu di Indonesia dapat pula meliputi berbagai hal dari
setiap unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam kebudayaan Melayu itu sendiri.
Kebudayaan dalam
masyarakat tidak begitu saja ada dengan sendirinya. Kebudayaan itu sendiri
merupakan sebuah hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia yang diperoleh
melalui proses belajar (Koentjaraningrat,
2009: 144).
Secara umum, kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni
kebudayaan secara ideal yang berisi ide-ide, norma-norma dan peraturan. Wujud
kedua dari kebudayaan berupa pola-pola perilaku masyarakat yang terwujud dari
sistem-sistem dan struktur-struktur sosial masyarakat. Terakhir adalah
kebudayaan dalam wujudnya sebagai benda-benda hasil karya manusia atau secara
fisik (Koentjaraningrat, 1985: 5).
Mengikuti pendapat ahli di atas, maka budaya Melayu atau
kebudayaan Melayu dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa
orang Melayu yang diperolehnya melalui hasil belajar. Hasil dari cipta, rasa
dan karsa orang Melayu itu sendiri paling tidak dapat dilihat dalam tiga bentuk
: ide, sistem sosial dan benda.
Membicarakan kebudayaan Melayu (yang merupakan hasil belajar
orang Melayu) itu sendiri rupanya cukup kompleks, mengingat setiap puak-puak
Melayu tentu mengembangkan sebuah sistem kebudayaan mereka sendiri yang tentu
berlain-lainan. Sehingga yang dimaksud dengan budaya Melayu dalam makalah ini tidak
menunjuk pada semua rumpun Melayu yang ada di Indonesia. Sekalipun yang dibahas
mungkin hanya masyarakat di Siak saja, atau Suku Bangsa Jawa saja, setidaknya
sudah cukup mewakili budaya pada rumpun Melayu. Maka yang dimaksud
dengan budaya Melayu disini dapat dipahami sebagai budaya yang memang dimiliki
oleh salah satu suku bangsa-suku bangsa yang merupakan ras Melayu di Indonesia.
Budaya Melayu telah mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Seperti misalnya penggunaan alat-alat batu yang kemudian berkembang
menjadi alat-alat logam sejak masuknya ras deutero
Melayu. Perubahan sistem religi masyarakat Melayu dari animisme menjadi
agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan agama Islam yang menjadi agama
mayoritas rumpun Melayu di Indonesia.
Perubahan atau perkembangan budaya itu dalam teori-teori
sosial dapat disebabkan oleh hal-hal yang berasal dari dalam masyarakat itu
sendiri seperti misalnya : penemuan baru; atau berasal dari luar masyarakat
seperti pengaruh lingkungan fisik dan adanya kontak dengan kebudayaan lain (Soerjono Soekanto,2009:283).
Menurut Kontjaraningrat, bersamaan dengan migrasi
kelompok manusia, terdapat pula penyebaran unsur kebudayaan ke seluruh penjuru
dunia. Difusi kebudayaan ini dapat juga terjadi tanpa adanya migrasi kelompok
manusia, dan biasanya hal ini terdapat pada masyarakat pelaut dan pedagang (Kontjaraningrat,2009:199).
Berdasarkan kedua teori di atas, maka bangsa Melayu yang
bermigrasi ke wilayah Indonesia ini bisa juga mengalami perubahan dan
perkembangan budaya yang disebabkan oleh keadaan geografis (lingkungan) atau
adanya kontak dengan budaya lain, terutama kontak dengan masyarakat pelaut yang
mengunjungi tempat tinggal mereka di Indonesia.
Seperti yang diuraikan di depan, bahwa bangsa Melayu juga
merupakan sebuah bangsa yang telah lama memiliki kemampuan melaut dan
berdagang, maka sudah barang tentu puak-puak Melayu sebagai pelaut dan pedagang
itu juga berinteraksi dengan berbagai masyarakat lain di dunia yang tentu dapat
membawa perubahan bagi kebudayaan yang dimiliki.
Bentuk hubungan yang disebabkan karena perdagangan itu
dapat menyebabkan unsur kebudayaan asing dibawa para pedagang masuk ke dalam
kebudayaan penerima dengan tidak sengaja yang dalam ilmu sejarah disebut penetration pasifique, artinya “pemasukan secara damai” (Koentjaraningrat,2009:200). Maka karena
hubungan laut dengan para pedagang itu, budaya Melayu dapat berkembang seperti
dalam bentuknya yang sekarang ini ada, meskipun tentu saja tidak berarti bahwa
semua budaya dari puak-puak Melayu itu mengalami kondisi yang sama. Tidak pula
berarti bahwa budaya Melayu itu hanya merupakan peniruan, asimilasi atau
akulturasi dari budaya asing.
C.1. Bahasa
Kondisi geografis Indonesia yang terletak di jalur
persilangan antara benua Asia dan Benua Australia dan juga persilangan antara
samudera Hindia dan samudera Pasifik telah memberikan dampak bagi terbukanya
jalur-jalur pelayaran lintas benua dan lintas samudera seperti disebut di atas.
Adanya pelaut-pelaut dari berbagai daerah di dunia,
seperti pelaut dari Arab, Persia, Gujarat, Cina bahkan pelaut eropa seperti
dari Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda membuktikan pula bahwa Indonesia
merupakan jalur pelayaran lintas benua yang secara periodik didatangi oleh para
pelaut tersebut. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa bangsa Melayu di
Indonesia telah lama menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam menjalani hubungan baik secara indiviual maupun
kelompok memerlukan alat komunikasi yang amat penting, yaitu bahasa. Menurut
penyelidikan secara linguistik, bahasa yang digunakan di kepulauan Indonesia
termasuk rumpun bahasa Melayu-Polinesia atau rumpun bahasa Austronesia (Sejarah Nasional Indonesia Jilid I,
1990:202).
Bahasa Melayu menerima rangsangan yang luar biasa ketika
terjadi suatu peningkatan aktivitas perdagangan dimana pelabuhan-pelabuhan di
Semenanjung Malaya dan bagian timur Sumatera menjadi tempat pertemuan orang
dari segala pulau. Bahasa Melayu kemudian menjadi lingua fanca di perairan Indonesia (Vlekke,2010:12). Mengenai hal itu, Huygen van Linschoten pernah
menuliskan bahwa bahasa Melayu berasal dari Malaka. Dia menggambarkan kota
Malaka sebagai tempat berkumpul nelayan dari segala bangsa, dimana mereka
memutuskan untuk mengembangkan bahasa mereka sendiri. Setelah menjadi pelabuhan
utama di Asia Tenggara bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa yang paling sopan.
Meski kurang tepat, tetapi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bahasa Melayu
telah menjadi bahasa pergaulan di kepulauan Indonesia sejak berabad-abad yang
lalu (Vlekke,2010: 90).
Nama galai atau
gale yang berasal dari eropa : Galleyen kini menjadi kosakata bahasa
Indonesia. Jenis kapal muatan di daerah Sangir disebut Lambuti yang diperkirakan berasal dari bahasa Belanda laad boat. Nama kapal pinisi juga menunjukan hubungannya
dengan bahasa Belanda “pinas”, atau
bahasa Inggris “pinnace” (Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III,1990:139).
Maka dapat disimpulkan bahwa karena pengaruh pelayaran
dan perdagangan, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi para pedagang di Nusantara. Lingua
franca adalah sebuah istilah linguistik yang artinya adalah "bahasa
pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat di mana
terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda (id.wikipedia.org/wiki/Lingua_franca). Selain
berkembang menjadi bahasa pemersatu pada masa lampau, bahasa Melayu juga telah
menyerap berbagai kosakata yang berasal dari kebudayaan lain yang hal ini tentu
menambah kekayaan bahasa Melayu.
C.2. Sistem Sosial
Sistem sosial masyarakat berarti semua tindakan manusia
yang mancakup aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan bergaul dari
masa ke masa (Koentjaraningrat,2009:151).
Maka bagaimanakah aktivitas bangsa Melayu dalam berinteraksi yang dapat
dipahami sebagai pengaruh dari adanya aktivitas pelayaran dan perdagangan?
Dari uraian mengenai sejarah Melayu di depan telah
dibahas pula bahwa mereka adalah pelaut-pelaut ulung. Meski kebanyakan dari
bangsa Melayu di Indonesia ini merupakan sebuah bangsa agraris (Vlekke,2010:13), namun telah pula
dibuktikan bahwa sejak masa neolitikum, bangsa Melayu sudah melaksanakan perdagangan dan
pelayaran (Sejarah Nasional Indonesia Jilid
1,1990:201).
Kegiatan melaut dan berdagang ini kemudian menimbulkan aktivitas
– aktivitas yang menunjukkan ciri dari sebuah masyarakat pelaut. Secara
sederhana kita dapat melihat munculnya para nelayan dan pedagang dikalangan
orang Melayu itu sendiri. Barang – barang yang diperdagangkan adalah produk
pertanian, ikan laut yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat pedalaman dan
gerabah. Terdapat pula pembagian tugas bagi kaum laki-laki dan perempuan dalam
hal menangkap ikan : para wanita menangkap ikan di sungai, rawa atau danau yang
dekat dengan tempat tinggal, sedangkan kaum pria menangkap ikan di laut lepas (Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1,1990:201).
Sistem sosial yang lain dapat dijumpai pada
kerajaan-kerajaan pesisir, misalnya kerajaan Banten. Kerajaan di daerah
pesisir, rupanya memiliki sultan yang juga turut ambil bagian dalam kegiatan
perdagangan, atau dalam kata lain Sultan juga seorang pedagang. Meski aktivitas
perdagangan yang dilakukan sultan tidak dilakukan secara langsung tetapi sultan
tersebut merupakan seorang pemilik modal yang menginvestasikan sebagian
kekayaannya untuk kegiatan perdagangan (Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III,1990:131).
Menurut Tom Pires, raja-raja Pahang, Kampar, dan
Indragiri mempunyai kantor dagang di Malaka, meski peran mereka pasif (Sejarah Nasional Indonesia Jilid
III,1990:131). Selain itu kerajaan Melayu Islam; Siak (Riau) atau yang
dikenal dengan Kesultanan Siak Sri Indrapura diketahui memiliki seorang sultan
yang dikenal sebagai pelaut (Sri Wintala
Achmad,2016:55).
Berdasarkan uraian di atas telah nyata bahwa karena
aktivitas pelayaran dan perdagangan telah mempengaruhi pola aktivitas raja pada
sebuah kerajaan, pada daerah pesisir, raja atau sultan turut ambil bagian
sebagai pedagang, dimana hal ini berbeda jika dibandingkan dengan kerajaan
agraris yang sultan atau rajanya bukanlah seorang pedagang seperti contohnya
Kesultanan Mataram.
Pelayaran dan perdagangan juga telah menumbuhkan sistem
kelas sosial yang baru. Contoh misalnya pembagian kelas sosial dalam kapal yang
terdiri dari para pendayung, pekerja, pedagang, nahkoda dan mualim. Kelas
sosial itu juga diikuti dengan perbedaan pakaian, pembagian tugas dan kebiasaan
(Hudjolly,2011 dalam www.MelayuOnline.com). Meskipun perbedaan itu tidak selalu tegas,
misalnya seseorang yang menjadi nahkoda dapat pula seorang pedagang atau
pemilik kapal.
Seorang nahkoda
merupakan pemimpin kapal yang bertugas mencatat setiap barang yang dibeli atau
dijual. Seorang jurumudi bertanggung
jawab atas kemudi yang tempatnya ada di belakang jurubatu yang bertugas agar kapal jangan sampai menabrak karang,
posisi mereka ada di haluan. Mualim
adalah seorang pemandu. Tugasnya dibantu oleh mualim kecil yang harus mengetahui arah angin. Mereka inilah yang
digolongkan sebagai “perwira” kapal
yang tugasnya dibantu para tukang yang sekarang disebut sebagai “bintara” kapal. Golongan
yang paling bawah adalah awak kapal
yang dikepalai oleh seorang “mandor” yang disebut “serang”. Para awak kapal bisa terdiri dari orang biasa, seorang
budak atau orang yang memiliki hutang. (Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III,1990:139).
C.3. Benda – Benda Kebudayaan
Pengalaman melaut yang sangat lama bagi masyarakat Melayu
telah meningkatkan kemampuan mereka dalam membuat kapal. Teknik pembuatan kapal
– kapal itu tidak serta-merta diperoleh dari pedagang asing, sebab bangsa
Melayu sendiri pastinya lebih memahami jenis kapal apa saja yang cocok dan
dapat mendukung kegiatan pelayaran mereka.
Daerah Riau mengenal jenis kapal berupa Lancang (perahu dengan dua tiang layar),
Penjajab (kapal perang), Jung (perahu layar), Sampan Barang (perahu kecil untuk
menangkap ikan dan membawa barang), Sampan
kolek, Belungkang (terbuat dari
pohon dan ditinggikan dengan papan, digunakan dengan cara dikayuh), dan Jalur (terbuat dari pohon yang
dilubangi) (Adat Istiadat Daerah
Riau,1977:82-86).
Selain kapal, pembuatan alat-alat navigasi juga terdapat
pada bangsa Melayu seperti contohnya adalah pembuatan peta. Ludovico di
Varthema dalam perjalanannya pada tahun 1506 dari Kalimantan ke Jawa
menjelaskan bahwa kapal yang ditumpanginya membawa sebuah peta yang penuh dengan
garis memanjang dan melintang (Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III,1990: 106). Albuquerque pernah mengirimkan sebuah peta
Jawa kepada rajanya, namun peta ini hilang karena kapalnya tenggelam. Dia
sendiri menggambarkan bahwa peta itu mencakup wilayah Samudera Hindia sampai
pantai Brazil. Berdasarkan informasi ini, dapat dipahami bahwa bangsa Melayu
sudah mahir dalam pembuatan peta dan bahwa kemajuan kartografi Portugis
mengenai wilayah Asia Tenggara mungkin saja berasal dari peta tersebut (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990: 105).
Khusus untuk daerah Riau, akibat adanya hubungan dagang
adalah pengaruh kebudayaan Cina dalam pakaian adat wanita, yakni pakaian
pengantin wanita yang disebut “pakaian
andam”. Dalam hal kesenian, daerah Riau mendapat pengaruh dari portugis
berupa alat musik joget, yakni biola. Alat musik rebana juga berasal dari
Portugis yang dibawa oleh orang Arab (Adat
Istiadat Daerah Riau,1977:31). Selain itu budaya Cina juga mempengaruhi
dalam hal penggunaan alat-alat rumah tangga seperti Bangking (tempat menyimpan pakaian halus) (Adat Istiadat Daerah Riau,1977:87).
KESIMPULAN
Bangsa Melayu di
Indonesia merupakan sebuah ras Melayu pendatang yang berasal dari darerah Cina
bagian selatan dan Indoncina. Ras Melayu ini merupakan sub-ras dari ras
Mongoloid dan merupakan penutur asli bahasa Austronesia.
Meski dikenal sebagai
masyarakat agraris, namun bangsa Melayu juga dikenal sebagai bangsa pelaut dan
pedagang. Hal ini dibuktikan dengan daerah penyebaran bangsa Melayu yang sangat
luas di berbagai belahan dunia. Selain itu catatan-catatan sejarah juga
membuktikan bahwa bangsa Melayu telah memiliki kemampuan maritim yang unggul.
Aktivitas perdagangan juga telah dilakukan semenjak masa neolitik.
Keunggulan maritim bangsa Melayu itu dapat
dilihat dari pengetahuan-pengetahuannya mengenai teknik pembuatan kapal serta
kemampuan navigasi termasuk kemampuan dalam membedakan jenis-jenis angin yang
berkaitan dengan pelayaran dan musim-musim yang berpengaruh terhadap arah dan
pola pelayaran mereka. Keunggulan maritim bangsa Melayu juga terbukti dari
fakta bahwa bangsa Melayu telah tersebar luas ke berbagai benua dan mampu
mengembangkan perdagangan di kawasan kepulauan seperti Indonesia.
Akibat dari adanya
aktivitas pelayaran dan perdagangan ini telah memberikan pengaruh terhadap
perkembangan budaya bangsa Melayu baik secara ide, sistem sosial, maupun fisik.
Hal ini dapat dilihat dari digunakannya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan
semenjak sebelum abad ke-15. Pengaruh dalam sistem sosial dapat dilihat dari
terbentuknya kelas sosial baru, yaitu nahkoda,
jurumudi dan mualim., Hubungan
dengan pelaut-pelaut Arab juga turut mempengaruhi pembuatan alat navigasi
berupa peta. Kebudayaan fisik yang mendapat pengaruh dari pelayaran dan
pergadangan adalah dalam hal teknik pembuatan kapal, alat navigasi dan alat rumah tangga serta kesenian.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad, Sri Wintala.2016.Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar Di Nusantara. Yogyakarta: Araska.312
Halaman
Koentjaraningrat.1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia. 151 Halaman
__________.2009.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: PT Rineka Cipta.
338 Halaman
Notosusanto, Nugroho & Marwati D. Poesponegoro
(ed).1990.Sejarah Nasional Indonesia
Jilid 1.Jakarta: Balai Pustaka. 495 Halaman
__________.1990.Sejarah Nasional Indonesia Jilid III.Jakarta:
Balai Pustaka. 495 Halaman
Soekanto, Soerjono.2009.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 404 Halaman
Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Propinsi Riau.1977. Adat Istiadat Daerah Riau.Jakarta: Balai
Pustaka.158 Halaman
Vlekke, Bernard H.M.2010.Nusantara: Sejarah Indonesia.Jakarta:KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).528 Halaman
Sumber Internet :
Hudjolly. 2011.Peradaban Laut Bangsa Melayu. http://melayuonline.com/ind/article/read/974/peradaban-laut-bangsa-melayu.Diakses
tanggal 23 Maret 2017
Wikipedia.2016.Lingua Franca. https://id.wikipedia.org/wiki/Lingua_franca. Diakses tanggal 23 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar