Translate

Minggu, 04 Juni 2017

KEUNGGULAN MARITIM BANGSA MELAYU




OLEH : Marcelinus Wahyu Putra K. S.Pd.

A.   Latar Belakang
Ras Mongoloid merupakan salah satu dari ras manusia yang memiliki daerah persebaran yang paling luas sejak berabad-abad yang lalu. Dalam ras Mongoloid tersebut terdapat sub-ras Malayan-Mongoloid atau disebut ras Melayu. Ras Melayu ini meliputi daerah Asia Tenggara, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Indonesia (Koentjaraningrat,2009:71, 77).
Bangsa Melayu di Indonesia meliputi mayoritas suku bangsa-suku bangsa di Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa bangsa Melayu asli adalah bangsa agraris (Vlekke,2010:12). Meskipun demikian, persebaran mereka dalam wilayah kepulauan (Indonesia) mestinya juga menunjukkan bahwa mereka juga memiliki kemampuan dalam hal pelayaran.
Kemampuan pelayaran itu juga diketahui bersamaan dengan bidang kehidupan lain, yaitu perdagangan (Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1,1990:200-201). Kondisi geografis Indonesia yang merupakan persilangan antara dua benua dan dua samudera telah membuka celah bagi kegiatan pelayaran dan perdagangan lintas benua. Kegiatan ini tentu membuat bangsa Melayu yang tinggal di daerah ini berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam ilmu-ilmu sosial, dapat diketahui bahwa adanya interaksi dengan kebudayaan luar yang berlain-lainan itu dapat membuat sebuah kebudayaan masyarakat mengalami perubahan atau perkembangan (Soerjono Soekanto,2009:283).

A.   Sejarah Orang Melayu Di Indonesia

Orang melayu di Indonesia atau yang tergolong ras Melayu sebenarnya merupakan sub-ras dari ras mongoloid dan yang umumnya disebut sebagai malayan-mongoloid yang juga
mencakup daerah kebudayaan Madagaskar (Koentjaraningrat,2009:244). Ras Melayu merupakan ras penutur asli bahasa Austronesia dengan berbagai dialeknya.

Orang Melayu di Indonesia merupakan imigran yang berasal dari daerah asia (Cina bagian selatan). Nenek moyangnya yang paling tua berasal dari jenis manusia Homo Sapiens Pekinensis yang merupakan evolusi dari Pithecanthropus Pekinensis yang fosilnya ditemukan di dekat Gua Chou Koutien. Homo Sapiens Pekinensis ini merupakan manusia pertama yang menunjukan ciri ras mongoloid dan merupakan nenek moyang dari ras khusus mongoloid yang tersebar dari Asia Timur sampai Amerika Selatan (Koentjaraningrat,2009:72).
Bangsa Melayu datang ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama merupakan kadatangan bangsa Melayu yang disebut proto Melayu (Melayu Tua) diperkirakan sekitar tahun 3.000 SM dan berasal dari daerah yang sekarang termasuk dalam propinsi Yunnan, Cina bagian selatan. Mereka merupakan nenek moyang dari semua kelompok Melayu-Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai kepulauan Pasifik. Di Indonesia, suku bangsa yang termasuk keturunan proto Melayu adalah suku bangsa Gayo dan Alas di Sumatera bagian utara, termasuk suku bangsa Toraja di Sulawesi. Kedatangan mereka ke wilayah Indonesia memberikan pengaruh terhadap kebudayaan dengan diperkenalkannya kebudayaan neolitik (Vlekke,2010:10).
Bangsa Melayu yang datang di Indonesia pada gelombang ke dua yang disebut deutero-Melayu (Melayu Muda) merupakan ras Melayu yang berasal dari daerah Indocina. Ini mencakup hampir semua suku bangsa Melayu di Indonesia. Kedatangan mereka pada sekitar tahun 300 SM di Indonesia telah memperkenalkan kebudayaan logam (Vlekke,2010:10).
Pada akhirnya, kedua rumpun bangsa Melayu di atas saling bertemu dan berinteraksi sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi. Akibatnya terjadi percampuran antara dua rumpun bangsa Melayu tersebut sehingga sulit untuk memberikan batasan yang jelas mengenai perbedaan antara keduanya.
B.   Kemampuan Kemaritiman Orang Melayu.
Kemampuan kemaritiman orang Melayu yang akan diulas disini setidaknya mencakup dua hal yakni kemampuan membuat alat transportasi laut dan kemampuan navigasi yang dibutuhkan untuk berlayar.
Proto-Melayu yang datang melalui jalur timur, sebelumnya lewat pula ke utara, ke arah Asia Timur, melewati Samudera Pasifik hinga sampai ke Indonesia. Kemampuan menjelajah samudera luas ini tentu menunjukkan kemampuan kemaritiman yang luar biasa. Studi linguistik misalnya, kelompok bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, dan Bali yang memiliki kaitan erat dengan Malagasi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon membuktikan bahwa mereka adalah pelaut-pelaut ulung (Vlekke, 2010:11).
Daerah persebaran bangsa Melayu yang merupakan daerah kepulauan juga menunjukkan bahwa mereka telah mampu mengembangkan kemampuan maritim sedemikian rupa sehingga mereka mampu menempuh daerah-daerah yang jauh dari negeri asalnya melalui jalur laut (Hudjolly,2011: dalam www.MelayuOnline.com).
Kemampuan melaut yang terpenting tentu merupakan kemampuan dalam membuat alat transportasi laut. Alat transportasi ini memungkinkan bangsa-bangsa Melayu menjelajah hingga lintas benua. Alat transportasi laut yang dapat ditelusuri hingga ke zaman neolitikum adalah kemampuan bangsa Melayu dalam membuat perahu.
Meski zaman neolitikum merupakan masa kebudayaan bercocok tanam atau masa pertanian, namun kehidupan ekonomi masyarakat pada masa ini tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian saja. Sebelum hasil pertanian dapat dipanen, tentu ada selang waktu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan lain, seperti misalnya : membuat perahu.
Teknik pembuatan perahu pada masa neolitikum adalah dengan menebang pohon, dan mengupas kulitnya setelah kering dengan menggunakan beliung. Selanjutnya adalah melubangi kayu dengan cara membakar dan memasang cadik. Dengan demikian terciptalah sebuah perahu bercadik (Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1,1990:200-201).
Dengan kemampuan membuat perahu itu, maka pada masa ini juga telah berkembang kegiatan perdagangan dengan sistem barter. Barang-barang dagangan diangkut dengan mengguanakan perahu, baik melalui jalur sungai atau laut. Penggunaan perahu sebagai alat transportasi dan sarana perdagangan memungkinkan pengangkutan barang dagangan dalam jumlah besar dan jarak yang jauh sehingga lebih menguntungkan (Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1,1990:201).
Kemampuan membuat kapal ini dapat ditelusuri buktinya dari zaman prasejarah berupa lukisan sampan yang terdapat pada dinding gua di pulau Kei Kecil. Selain itu (meski kurang jelas), terdapat pula hiasan perahu dalam nekara perunggu. Teknik pembuatan kapal ini berkembang pesat selama berabad-abad kemudian pada zaman Indonesia-Hindu. Buktinya dapat ditelusuri melaui reflief-relief yang terdapat pada candi Borobudur. Dari sini, jenis kapal di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga jenis : perahu lesung, kapal besar tanpa cadik, kapal bercadik (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990:111-112).
Industri kapal mulai tergambar dengan jelas pada abad ke 16. Laporan Tom Pires dalam Suma Oriental, menunjukkan bahwa Sultan Mansur (Malaka) yang akan berlayar ke Mekkah menggunakan kapal dari Jawa. Dengan demikian, Jawa sudah dikenal oleh orang Portugis sebagai penghasil kapal besar yang mampu berlayar hingga Arab. Keahlian arsitek kapal Jawa juga terkenal hebat yang dibuktikan bahwa Albuquerque membawa 60 tukang yang cakap pada waktu ia meninggalkan Malaka pada tahun 1512 (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, 1990: 117-118).
Selain kemampuan membuat alat transportasi laut, kemampuan maritim orang Melayu juga ditunjukkan dalam kemampuannya menjelajah perairan (terutama laut) dengan memanfaatkan musim dan angin. Kondisi iklim dan geografis kepulauan, terutama di Nusantara, telah meningkatkan kemampuan navigasi orang Malayu di Indonesia.
Andrian B Lapian, seperti yang dikutip oleh Hudjolly, menyebutkan beberapa nama-nama angin dan rasi bintang yang dimanfaatkan oleh para pelaut Melayu diantaranya : angin sendalu (angin berkekuatan sedang), angin buritan (angin yang datang dari arah buritan perahu), angin sorong (angin yang mendorong perahu), angin sakal (angin yang datang dari depan perahu), angin paksa (angin yang memaksa pelaut untuk melempar jangkar). Selain nama angin juga terdapat nama-nama rasi bintang yang menunjukkan sifat kemaritiman seperti nama “mayang” dan “biduk” (Hudjolly,2011: dalam www.MelayuOnline.com). Pada masyarakat Biak misalnya, mengenal rasi bintang romangwandi, mereka menggunakannya sebagai tanda apabila masih terlihat ekor dari rasi romangwandi (naga), menandakan angin ribut di laut sudah berlalu, tetapi apabila rasi romangwandi masih berada di garis cakrawala, berarti musim angin barat yang menyebabkan ombak besar dan mengganggu pelayaran (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, 1990: 101,108).
Kemampuan navigasi pelaut Indonesia jelas tergambar dalam pengetahuannya mengenai rasi bintang sebagai penunjuk arah. Kemampuan ini kemudian dapat mengesampingkan penggunaan kompas yang merupakan alat navigasi yang penting. Kompas mungkin sekali diperkenalkan oleh pelaut dari Arab, Persia, Gujarat dan Cina meski jarang digunakan oleh pelaut Indonesia sendiri sehingga ketika Laksamana Steven ven der Haghen menjual kompas kepada pelaut Indonesia, kompas itu tidak laku sehingga harus dikembalikan ke Belanda (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, 1990: 107).
Pengetahuan navigasi memang berbeda-beda perkembangannya bagi masyarakat Melayu di Indonesia. Mereka memiliki kemampuan navigasi secara intuisi. Ada yang mampu menentukan lokasi berdasarkan bentuk awan dan pantulan sinar matahari, melihat warna, jenis dan arus air laut. Orang Bugis dan Makasar memiliki kotika tiliq : naskah dalam bahasa daerah untuk meramalkan apakah kapal yang dijumpainya bermaksud baik atau jahat; dan kotika johoro : untuk melihat apakah serangan laut bisa berhasil atau tidak (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, 1990: 109). Dengan demikian bangsa Melayu rupanya sudah memiliki kemampuan bahari yang tinggi, sehingga dapat dikatakan mereka memiliki keunggulan dalam bidang pelayaran dan perdagangan yaitu dalam bidang pembuatan kapal dan pengetahuan navigasi.


C.   Pengaruh Pelayaran Dan Perdagangan Terhadap Perkembangan Budaya Melayu
Budaya Melayu atau dalam hal ini adalah budaya yang dimiliki oleh orang Melayu di Indonesia dapat pula meliputi berbagai hal dari setiap unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam kebudayaan Melayu itu sendiri.
 Kebudayaan dalam masyarakat tidak begitu saja ada dengan sendirinya. Kebudayaan itu sendiri merupakan sebuah hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia yang diperoleh melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 2009: 144).
Secara umum, kebudayaan memiliki tiga wujud, yakni kebudayaan secara ideal yang berisi ide-ide, norma-norma dan peraturan. Wujud kedua dari kebudayaan berupa pola-pola perilaku masyarakat yang terwujud dari sistem-sistem dan struktur-struktur sosial masyarakat. Terakhir adalah kebudayaan dalam wujudnya sebagai benda-benda hasil karya manusia atau secara fisik (Koentjaraningrat, 1985: 5).
Mengikuti pendapat ahli di atas, maka budaya Melayu atau kebudayaan Melayu dapat diartikan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa orang Melayu yang diperolehnya melalui hasil belajar. Hasil dari cipta, rasa dan karsa orang Melayu itu sendiri paling tidak dapat dilihat dalam tiga bentuk : ide, sistem sosial dan benda.
Membicarakan kebudayaan Melayu (yang merupakan hasil belajar orang Melayu) itu sendiri rupanya cukup kompleks, mengingat setiap puak-puak Melayu tentu mengembangkan sebuah sistem kebudayaan mereka sendiri yang tentu berlain-lainan. Sehingga yang dimaksud dengan budaya Melayu dalam makalah ini tidak menunjuk pada semua rumpun Melayu yang ada di Indonesia. Sekalipun yang dibahas mungkin hanya masyarakat di Siak saja, atau Suku Bangsa Jawa saja, setidaknya sudah cukup mewakili budaya pada rumpun Melayu. Maka yang dimaksud dengan budaya Melayu disini dapat dipahami sebagai budaya yang memang dimiliki oleh salah satu suku bangsa-suku bangsa yang merupakan ras Melayu di Indonesia.
Budaya Melayu telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Seperti misalnya penggunaan alat-alat batu yang kemudian berkembang menjadi alat-alat logam sejak masuknya ras deutero Melayu. Perubahan sistem religi masyarakat Melayu dari animisme menjadi agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan agama Islam yang menjadi agama mayoritas rumpun Melayu di Indonesia.
Perubahan atau perkembangan budaya itu dalam teori-teori sosial dapat disebabkan oleh hal-hal yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti misalnya : penemuan baru; atau berasal dari luar masyarakat seperti pengaruh lingkungan fisik dan adanya kontak dengan kebudayaan lain (Soerjono Soekanto,2009:283).
Menurut Kontjaraningrat, bersamaan dengan migrasi kelompok manusia, terdapat pula penyebaran unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia. Difusi kebudayaan ini dapat juga terjadi tanpa adanya migrasi kelompok manusia, dan biasanya hal ini terdapat pada masyarakat pelaut dan pedagang (Kontjaraningrat,2009:199).
Berdasarkan kedua teori di atas, maka bangsa Melayu yang bermigrasi ke wilayah Indonesia ini bisa juga mengalami perubahan dan perkembangan budaya yang disebabkan oleh keadaan geografis (lingkungan) atau adanya kontak dengan budaya lain, terutama kontak dengan masyarakat pelaut yang mengunjungi tempat tinggal mereka di Indonesia.
Seperti yang diuraikan di depan, bahwa bangsa Melayu juga merupakan sebuah bangsa yang telah lama memiliki kemampuan melaut dan berdagang, maka sudah barang tentu puak-puak Melayu sebagai pelaut dan pedagang itu juga berinteraksi dengan berbagai masyarakat lain di dunia yang tentu dapat membawa perubahan bagi kebudayaan yang dimiliki.
Bentuk hubungan yang disebabkan karena perdagangan itu dapat menyebabkan unsur kebudayaan asing dibawa para pedagang masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak sengaja yang dalam ilmu sejarah disebut penetration pasifique, artinya “pemasukan secara damai(Koentjaraningrat,2009:200). Maka karena hubungan laut dengan para pedagang itu, budaya Melayu dapat berkembang seperti dalam bentuknya yang sekarang ini ada, meskipun tentu saja tidak berarti bahwa semua budaya dari puak-puak Melayu itu mengalami kondisi yang sama. Tidak pula berarti bahwa budaya Melayu itu hanya merupakan peniruan, asimilasi atau akulturasi dari budaya asing.

C.1. Bahasa
Kondisi geografis Indonesia yang terletak di jalur persilangan antara benua Asia dan Benua Australia dan juga persilangan antara samudera Hindia dan samudera Pasifik telah memberikan dampak bagi terbukanya jalur-jalur pelayaran lintas benua dan lintas samudera seperti disebut di atas.
Adanya pelaut-pelaut dari berbagai daerah di dunia, seperti pelaut dari Arab, Persia, Gujarat, Cina bahkan pelaut eropa seperti dari Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda membuktikan pula bahwa Indonesia merupakan jalur pelayaran lintas benua yang secara periodik didatangi oleh para pelaut tersebut. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa bangsa Melayu di Indonesia telah lama menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam menjalani hubungan baik secara indiviual maupun kelompok memerlukan alat komunikasi yang amat penting, yaitu bahasa. Menurut penyelidikan secara linguistik, bahasa yang digunakan di kepulauan Indonesia termasuk rumpun bahasa Melayu-Polinesia atau rumpun bahasa Austronesia (Sejarah Nasional Indonesia Jilid I, 1990:202).
Bahasa Melayu menerima rangsangan yang luar biasa ketika terjadi suatu peningkatan aktivitas perdagangan dimana pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Malaya dan bagian timur Sumatera menjadi tempat pertemuan orang dari segala pulau. Bahasa Melayu kemudian menjadi lingua fanca di perairan Indonesia (Vlekke,2010:12). Mengenai hal itu, Huygen van Linschoten pernah menuliskan bahwa bahasa Melayu berasal dari Malaka. Dia menggambarkan kota Malaka sebagai tempat berkumpul nelayan dari segala bangsa, dimana mereka memutuskan untuk mengembangkan bahasa mereka sendiri. Setelah menjadi pelabuhan utama di Asia Tenggara bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa yang paling sopan. Meski kurang tepat, tetapi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bahasa Melayu telah menjadi bahasa pergaulan di kepulauan Indonesia sejak berabad-abad yang lalu (Vlekke,2010: 90).
Nama galai atau gale yang berasal dari eropa : Galleyen kini menjadi kosakata bahasa Indonesia. Jenis kapal muatan di daerah Sangir disebut Lambuti yang diperkirakan berasal dari bahasa Belanda laad boat. Nama kapal pinisi juga menunjukan hubungannya dengan bahasa Belanda “pinas”, atau bahasa Inggris “pinnace” (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990:139).
Maka dapat disimpulkan bahwa karena pengaruh pelayaran dan perdagangan, bahasa Melayu telah menjadi lingua franca bagi para pedagang di Nusantara. Lingua franca adalah sebuah istilah linguistik yang artinya adalah "bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda (id.wikipedia.org/wiki/Lingua_franca). Selain berkembang menjadi bahasa pemersatu pada masa lampau, bahasa Melayu juga telah menyerap berbagai kosakata yang berasal dari kebudayaan lain yang hal ini tentu menambah kekayaan bahasa Melayu.
C.2. Sistem Sosial
Sistem sosial masyarakat berarti semua tindakan manusia yang mancakup aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan bergaul dari masa ke masa (Koentjaraningrat,2009:151). Maka bagaimanakah aktivitas bangsa Melayu dalam berinteraksi yang dapat dipahami sebagai pengaruh dari adanya aktivitas pelayaran dan perdagangan?
Dari uraian mengenai sejarah Melayu di depan telah dibahas pula bahwa mereka adalah pelaut-pelaut ulung. Meski kebanyakan dari bangsa Melayu di Indonesia ini merupakan sebuah bangsa agraris (Vlekke,2010:13), namun telah pula dibuktikan bahwa sejak masa neolitikum, bangsa Melayu sudah melaksanakan perdagangan dan pelayaran (Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1,1990:201).
Kegiatan melaut dan berdagang ini kemudian menimbulkan aktivitas – aktivitas yang menunjukkan ciri dari sebuah masyarakat pelaut. Secara sederhana kita dapat melihat munculnya para nelayan dan pedagang dikalangan orang Melayu itu sendiri. Barang – barang yang diperdagangkan adalah produk pertanian, ikan laut yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat pedalaman dan gerabah. Terdapat pula pembagian tugas bagi kaum laki-laki dan perempuan dalam hal menangkap ikan : para wanita menangkap ikan di sungai, rawa atau danau yang dekat dengan tempat tinggal, sedangkan kaum pria menangkap ikan di laut lepas (Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1,1990:201).
Sistem sosial yang lain dapat dijumpai pada kerajaan-kerajaan pesisir, misalnya kerajaan Banten. Kerajaan di daerah pesisir, rupanya memiliki sultan yang juga turut ambil bagian dalam kegiatan perdagangan, atau dalam kata lain Sultan juga seorang pedagang. Meski aktivitas perdagangan yang dilakukan sultan tidak dilakukan secara langsung tetapi sultan tersebut merupakan seorang pemilik modal yang menginvestasikan sebagian kekayaannya untuk kegiatan perdagangan (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990:131).
Menurut Tom Pires, raja-raja Pahang, Kampar, dan Indragiri mempunyai kantor dagang di Malaka, meski peran mereka pasif (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990:131). Selain itu kerajaan Melayu Islam; Siak (Riau) atau yang dikenal dengan Kesultanan Siak Sri Indrapura diketahui memiliki seorang sultan yang dikenal sebagai pelaut (Sri Wintala Achmad,2016:55).
Berdasarkan uraian di atas telah nyata bahwa karena aktivitas pelayaran dan perdagangan telah mempengaruhi pola aktivitas raja pada sebuah kerajaan, pada daerah pesisir, raja atau sultan turut ambil bagian sebagai pedagang, dimana hal ini berbeda jika dibandingkan dengan kerajaan agraris yang sultan atau rajanya bukanlah seorang pedagang seperti contohnya Kesultanan Mataram.
Pelayaran dan perdagangan juga telah menumbuhkan sistem kelas sosial yang baru. Contoh misalnya pembagian kelas sosial dalam kapal yang terdiri dari para pendayung, pekerja, pedagang, nahkoda dan mualim. Kelas sosial itu juga diikuti dengan perbedaan pakaian, pembagian tugas dan kebiasaan (Hudjolly,2011 dalam www.MelayuOnline.com). Meskipun perbedaan itu tidak selalu tegas, misalnya seseorang yang menjadi nahkoda dapat pula seorang pedagang atau pemilik kapal.
Seorang nahkoda merupakan pemimpin kapal yang bertugas mencatat setiap barang yang dibeli atau dijual. Seorang jurumudi bertanggung jawab atas kemudi yang tempatnya ada di belakang jurubatu yang bertugas agar kapal jangan sampai menabrak karang, posisi mereka ada di haluan. Mualim adalah seorang pemandu. Tugasnya dibantu oleh mualim kecil yang harus mengetahui arah angin. Mereka inilah yang digolongkan sebagai “perwira” kapal yang tugasnya dibantu para tukang yang sekarang disebut sebagai “bintara” kapal. Golongan yang paling bawah adalah awak kapal yang dikepalai oleh seorang “mandor” yang disebut “serang”. Para awak kapal bisa terdiri dari orang biasa, seorang budak atau orang yang memiliki hutang. (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990:139).
C.3. Benda – Benda Kebudayaan
Pengalaman melaut yang sangat lama bagi masyarakat Melayu telah meningkatkan kemampuan mereka dalam membuat kapal. Teknik pembuatan kapal – kapal itu tidak serta-merta diperoleh dari pedagang asing, sebab bangsa Melayu sendiri pastinya lebih memahami jenis kapal apa saja yang cocok dan dapat mendukung kegiatan pelayaran mereka.
Daerah Riau mengenal jenis kapal berupa Lancang (perahu dengan dua tiang layar), Penjajab (kapal perang), Jung (perahu layar), Sampan Barang (perahu kecil untuk menangkap ikan dan membawa barang), Sampan kolek, Belungkang (terbuat dari pohon dan ditinggikan dengan papan, digunakan dengan cara dikayuh), dan Jalur (terbuat dari pohon yang dilubangi) (Adat Istiadat Daerah Riau,1977:82-86).
Selain kapal, pembuatan alat-alat navigasi juga terdapat pada bangsa Melayu seperti contohnya adalah pembuatan peta. Ludovico di Varthema dalam perjalanannya pada tahun 1506 dari Kalimantan ke Jawa menjelaskan bahwa kapal yang ditumpanginya membawa sebuah peta yang penuh dengan garis memanjang dan melintang (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990: 106).  Albuquerque pernah mengirimkan sebuah peta Jawa kepada rajanya, namun peta ini hilang karena kapalnya tenggelam. Dia sendiri menggambarkan bahwa peta itu mencakup wilayah Samudera Hindia sampai pantai Brazil. Berdasarkan informasi ini, dapat dipahami bahwa bangsa Melayu sudah mahir dalam pembuatan peta dan bahwa kemajuan kartografi Portugis mengenai wilayah Asia Tenggara mungkin saja berasal dari peta tersebut (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III,1990: 105).
Khusus untuk daerah Riau, akibat adanya hubungan dagang adalah pengaruh kebudayaan Cina dalam pakaian adat wanita, yakni pakaian pengantin wanita yang disebut “pakaian andam”. Dalam hal kesenian, daerah Riau mendapat pengaruh dari portugis berupa alat musik joget, yakni biola. Alat musik rebana juga berasal dari Portugis yang dibawa oleh orang Arab (Adat Istiadat Daerah Riau,1977:31). Selain itu budaya Cina juga mempengaruhi dalam hal penggunaan alat-alat rumah tangga seperti Bangking (tempat menyimpan pakaian halus) (Adat Istiadat Daerah Riau,1977:87).




KESIMPULAN
Bangsa Melayu di Indonesia merupakan sebuah ras Melayu pendatang yang berasal dari darerah Cina bagian selatan dan Indoncina. Ras Melayu ini merupakan sub-ras dari ras Mongoloid dan merupakan penutur asli bahasa Austronesia.
Meski dikenal sebagai masyarakat agraris, namun bangsa Melayu juga dikenal sebagai bangsa pelaut dan pedagang. Hal ini dibuktikan dengan daerah penyebaran bangsa Melayu yang sangat luas di berbagai belahan dunia. Selain itu catatan-catatan sejarah juga membuktikan bahwa bangsa Melayu telah memiliki kemampuan maritim yang unggul. Aktivitas perdagangan juga telah dilakukan semenjak masa neolitik.
Keunggulan maritim bangsa Melayu itu dapat dilihat dari pengetahuan-pengetahuannya mengenai teknik pembuatan kapal serta kemampuan navigasi termasuk kemampuan dalam membedakan jenis-jenis angin yang berkaitan dengan pelayaran dan musim-musim yang berpengaruh terhadap arah dan pola pelayaran mereka. Keunggulan maritim bangsa Melayu juga terbukti dari fakta bahwa bangsa Melayu telah tersebar luas ke berbagai benua dan mampu mengembangkan perdagangan di kawasan kepulauan seperti Indonesia.
Akibat dari adanya aktivitas pelayaran dan perdagangan ini telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Melayu baik secara ide, sistem sosial, maupun fisik. Hal ini dapat dilihat dari digunakannya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan semenjak sebelum abad ke-15. Pengaruh dalam sistem sosial dapat dilihat dari terbentuknya kelas sosial baru, yaitu nahkoda, jurumudi dan mualim., Hubungan dengan pelaut-pelaut Arab juga turut mempengaruhi pembuatan alat navigasi berupa peta. Kebudayaan fisik yang mendapat pengaruh dari pelayaran dan pergadangan adalah dalam hal teknik pembuatan kapal, alat navigasi dan alat rumah tangga serta kesenian.



DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sri Wintala.2016.Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar Di Nusantara. Yogyakarta: Araska.312 Halaman

Koentjaraningrat.1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. 151 Halaman

__________.2009.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: PT Rineka Cipta. 338 Halaman

Notosusanto, Nugroho & Marwati D. Poesponegoro (ed).1990.Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1.Jakarta: Balai Pustaka. 495 Halaman

__________.1990.Sejarah Nasional Indonesia Jilid III.Jakarta: Balai Pustaka. 495 Halaman

Soekanto, Soerjono.2009.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 404 Halaman

Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Propinsi Riau.1977. Adat Istiadat Daerah Riau.Jakarta: Balai Pustaka.158 Halaman

Vlekke, Bernard H.M.2010.Nusantara: Sejarah Indonesia.Jakarta:KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).528 Halaman


Sumber Internet :

Hudjolly. 2011.Peradaban Laut Bangsa Melayu. http://melayuonline.com/ind/article/read/974/peradaban-laut-bangsa-melayu.Diakses tanggal 23 Maret 2017

Wikipedia.2016.Lingua Franca. https://id.wikipedia.org/wiki/Lingua_franca. Diakses tanggal 23 Maret 2017
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar